REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Masifnya perburuan hiu di Tanjung Luar, Kabupaten Lombok Timur, mengancam industri tuna Indonesia. Pasalnya, meski belum memiliki aturan khusus perlidungan hiu, Indonesia ikut dalam ratifikasi Indian Ocean Tuna Commision (IOTC).
"Jika tidak dilakukan tahun ini, label //dolphin save// produk tuna Indonesia akan dicabut," kata Direktur LSM Jakarta Animal Aid Network (JAAN), Femke Den Haas, Jumat (14/2).
Femke mengungkapkan nelayan Tanjung Luar tak hanya membantai hiu, tapi juga lumba-lumba yang dijadikan umpan. Earth Island Institute yang bertanggungjawab atas //dolphin labeling// sudah dua tahun meminta Indonesia menghentikan ini sebab ini akan berefek pada industri ekspor tuna yang diatur dalam IOTC.
"Jika mengikut //dolphin save//, tidak boleh ada hiu di kapal tuna. Di kapal nelayan Tanjung Luar bukan hanya ada hiu, tapi juga lumba-lumba," kata Femke.
2012 pemerintah menjanjikan bantuan perikanan alternatif bagi warga Tanjung Luar di anggaran periode 2013. Tapi, belum ada realisasi hingga saat ini. JAAN mencatat, selama 2013, 3.036 ekor hiu berbagai jenis dijual dengan nilai mencapai Rp 1.114.780.000. Sementara pada 2012, 2.627 ekor hiu dijual dipelelangan dengan nilai Rp 1.342.010.000.
Angka tangkapan itu hanya untuk hiu ukuran satu hingga empat meter. Pram mengungkapkan angka itu bisa lebih fantastis jika hiu ukuran kurang dari satu meter, yang diecer di luar pelelangan, dimasukkan.
Dari 470 jenis hiu di Indonesia, 21 jenis di antaranya hiu, ditambah satu jenis pari manta, lumba-lumba dan paus bisa ditemukan di tempat pelelangan ikan (TPI) Tanjung Luar. Hiu wobbegong dan hiu tikus menjadi sebagian jenis hiu yang diperdagangnkan.