REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Hasil penyelidikan kepolisian menunjukan kebakaran di konsesi sagu PT Sampoerna Agro Tbk di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau sebagian besar terjadi di areal penanaman baru yang sebelumnya sempat dilakukan pembersihan lahan.
"Yang terbakar itu lahan penanaman baru yang akan ditanami, berasap semua," kata Kepala Kepolisian Resor Kepulauan Meranti, AKBP Zahwani Pandra Arsyad, kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.
Ia mengatakan konsesi Sampoerna yang beroperasi melalui anak perusahaannya PT National Sago Prima (NSP) di Tebing Tinggi sudah mulai terbakar sejak akhir Januari lalu. Polisi memperkirakan luas lahan yang terbakar mencapai 1.200 hektare (ha), dengan kondisi secara umum berada di lokasi penanaman baru sekitar 1.000 ha telah terbakar keseluruhan.
Ia mengatakan, kebakaran di daerah itu juga terjadi di lahan masyarakat yang bersebelahan dengan areal perusahaan. Menurut dia, kepolisian sudah mengintrogasi 12 saksi dari perusahaan subkontraktor PT NSP namun penyebab belum diketahui pasti.
"Kita juga akan segera memintai keterangan pihak manajemen PT NSP dan warga pemilik lahan yang terbakar," katanya.
Pernyataan Zahwani Pandra bertolak belakang dengan pernyataan Juru Bicara PT Sampoerna Agro Tbk, Eris Ariaman di Pekanbaru, Rabu lalu (13/2) bahwa lahan yang telah terbakar terdiri dari tanaman sagu berumur dua tahun hingga ada juga yang telah siap panen. Bahkan, Eris mengatakan api awalnya berasal dari perkebunan bukan milik perusahaan atau milik warga, yang berada di sebelah utara dan merambat ke area milik perusahaan.
Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zulher mengatakan kebakaran di konsesi Sampoerna juga merambat ke lahan sagu milik warga setempat dengan luas sekitar 800 ha. Ia mengatakan, pihaknya melakukan penyelidikan terhadap penyebab kebakaran dan benar bahwa konsesi perusahaan yang terbakar sekitar 1.200 ha.
Selain itu, ia mengatakan kebakaran di konsesi bisa sangat luas karena perusahaan sangat kurang dalam sumber daya manusia dan peralatan untuk mengantisipasi kebakaran lahan. Padahal, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran merupakan kewajiban bagi perusahaan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
"Betul, mereka sangat kekurangan peralatan," katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Said Saqlul Amri, mengatakan luas area perusahaan menyumbang paling banyak kebakaran di Kabupaten Kepulauan Meranti yang sejauh ini mencapai 2.659 ha. Ia mengatakan, BPBD Riau terpaksa meninjau kembali untuk tidak mengabulkan permintaan pemerintah daerah setempat agar dibantu proses pemadaman dengan helikopter dan modifikasi cuaca.
"Perusahaan harus tanggung jawab, kami mempertimbangkan kenapa area perusahaan yang terbakar lalu pemerintah yang harus memadamkannya," katanya.
Sementara itu, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Riko Kurniawan mengatakan siap membantu dalam hal data-data untuk proses hukum terhadap PT NSP. Ia mengatakan, berdasarkan hasil investigasi Walhi, kebakaran awal terjadi di kebun sagu perusahaan yang sudah ditanami di Blok K26 pada 29 Januari.
Riko mengatakan, lokasi itu berjarak sekira dua kilometer dari lahan sagu warga. Dari lokasi itulah kebakaran kemudian menjalar ke lahan penanaman baru dan juga lahan milik warga.
"Kami mendukung proses hukum yang dilakukan Polda Riau, dan pada akhir pekan ini kami akan masukan laporan investigasi berupa bukti-bukti seperti foto hingga titik koordinat dimana kebakaran berawal," katanya.
Hasil investigasi Walhi ternyata juga sama dengan laporan penyelidikan yang dilakukan Dinas Perkebunan Riau, bahwa standar prosedur perusahaan berupa peralatan dan personel untuk pemadaman kebakaran sangat minim untuk menjaga konsesi seluas 21.000 ha.
"Saat kebakaran awal mereka hanya punya tiga mesin pompa air kecil untuk menjaga konsesi seluas itu, bahkan saat itu hanya satu mesin yang berfungsi. Baru setelah kebakaran sudah meluas mereka sewa helikopter untuk pemadaman," ujarnya.