REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Adanya otonomi khusus (otsus) plus Papua dinilai menjadi penyebab maraknya pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Persoalan politik yang berkembang di wilayah itu tidak seharusnya diselesaikan dengan pembangunan.
“Pemekaran ini sudah sampai tingkat kampung. Buat apa dibentuk birokrasi kepemerintahan, namun tidak ada masyarakat dan pembangunan yang bisa dikelola,” kata Ketua Tim Kajian Papua LIPI, Adriana Elisabeth saat dihubungi Republika, Rabu (12/2).
Dalam RUU Pemerintahan nanti, memang kepala daerah diberikan kewenangan yang luas dalam melakukan pembangunan. Akibatnya semua pihak berkeinginan mencicipi mencicipi kue dari kebijakan tersebut.
Padahal memberdayakan Papua itu tidak rumit. Dengan kondisi wilayah yang luas, dan populasinya tidak terlalu banyak, pemekaran jelas bukan suatu gagasan yang menjawab persoalan di sana.
Dengan adanya UU No.21 Tahun 2001 saja, indeks pembangunan manusia (IPM) Papua masih rendah. Dia mendukung, Pemerintah pusat seharusnya mengkaji dulu otsus tersebut, apa yang kurang dan bagaimana menyempurnakannya.
“Sebab, persoalan di sana itu bukan hanya pembanguan melainkan juga politik. Mereka yang kalah pemilu bahkan kepala dinas kepemerintahan ikut dalam pelaksanaan pemilukada. Akibatnya pembangunan tidak berjalan,” ujarnya.
Adriana mengatakan, Pemerintah pusat memang cukup jengah dengan usulan Papua yang terkait memerdekakan diri. Dengan adanya pemekaran, bisa jadi itu menjadi langkah pusat untuk membagi otoritas kekuasaaan, agar tidak fokus pada hal tersebut.
“Satu hal belum selesai, sudah ada usulan baru lainnya, sekarang ini masalah di Papua menjadi tumpang tindih, sulit diurai,” ujar dia.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, pihaknya akan selektif dalam mengkaji daerah yang hendak membentuk otonomi baru. Kalau memang tidak memenuhi syarat, maka akan ditolak.