Sabtu 08 Feb 2014 22:56 WIB

Rokhmin: Ulama Harus Turun Tangan Atasi Bangsa

Rokhmin Dahuri (kiri) menjadi pembicara pada Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan Harlah ketiga Pesantren Al Hikam Depok
Foto: foto: damanhurizuhri/republika
Rokhmin Dahuri (kiri) menjadi pembicara pada Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan Harlah ketiga Pesantren Al Hikam Depok

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaki Al Hamzah

DEPOK -- Anggota Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI, Rokhmin Dahuri, menyarankan agar para ulama turun tangan mengatasi persoalan bangsa.

Kondisi bangsa dinilai sudah sangat mengkhawatirkan, terutama sektor ekonomi dan sumber daya alam (SDA) yang semakin dikuasai asing.

"Ulama harusnya berperan serta, terutama mengawasi penguasaan sumber daya alam," ujar Rokhmin, di hadapan 300 ulama peserta Sarasehan Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok, Jawa Barat, Sabtu (8/2).

Acara ini digelar dalam rangka peringatan Harlah (ulang tahun) ketiga Ponpes Mahasiswa Al-Hikam pimpinan KH Hasyim Muzadi. Selain Rokhmin, pembicara lain dalam sesi kedua hari kemarin adalah Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, dan Ketua umum Baznas KH Didin Hafiduddin.

Rokhmin mengatakan meski secara makroekonomi Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil mengatasi krisis ekonomi global, namun dari mikroekonomi belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

"Mengapa pertumbuhan ekonomi yang lumayan tinggi, rata-rata 5,4 persen per tahun dalam sepuluh tahun terakhir, tidak dapat mengatasi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan," kata menteri kelautan dan perikanan RI periode 2001-2004.

Atas pertanyaan tersebut, Rokhmin menegaskan hal itu karena pertumbuhan ekonomi nasional belum berkualitas. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sekitar dua ratus orang kaya.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi selama dekade terakhir sebagian besar dihasilkan dari sektor finansial dan sektor riil non-tradable (seperti kontruksim agkutan, pasar swalayan/pusat perbelanjaan, dan hiburan).

Sayangnya, kata dia, sektor-sektor tersebut cuma sedikit menyerap tenaga kerja. Mengutip data ekonom Aviliani, Rokhmin mengatakan, dalam setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, hanya mampu menyerap 150 ribu tenaga kerja.

Parahnya lagi, lanjut dia, pertumbuhan tersebut sebagian besar hanya berlangsung di kota-kota besar di Pulau Jawa serta kebanyakan hanya dinikmati kelas menengah ke atas.

Maka itu, Rokhmin menyarankan peran serta para ulama untuk mendorong masyarakat agar mengoptimalkan sektor riil perdagangan, termasuk sektor perikanan, peternakan dan kelautan.

Ulama dibutuhkan peran aktifnya karena masih menjadi panutan masyarakat. Sektor-sektor ekonomi riil tradable, seperti kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, ESDM (energi sumber daya mineral), pariwisata dan industri manufakturing, dinilai justru sangat lambat pertumbuhannya.

Sementara, Rizal Ramli menilai bangsa ini kurang memanfaatkan potensi lahan-lahan kosong untuk membuka lapangan pekerjaan.

Ia mencontohkan era pemerintahan Mahathir Muhammad saat memberdayakan rakyat Malaysia. Ketika daerah Malaysia kawasan timur masih miskin dan minim pengelolaan SDA, Mahathir memerintahkan rakyatnya agar berpindah (transmigrasi) ke daerah tersebut.

Mereka yang bersedia berpindah akan menerima lahan gratis lima hektare hingga sepuluh hektare untuk ditanami perkebunan kelapa sawit, kemudian biaya hidup per bulan selama lima tahun serta pembangunan infrastruktur.

Lambat laun, setelah lima tahun, tanaman kelapa sawit panen. Rakyat mulai merasakan hasil penjualan sehingga semakin makmur. Karena enggan menjadi pekerja, maka para pemilik lahan kebun sawit merekrut tenaga kerja dari negara lain, termasuk dari Indonesia.

"Kalau ini diterapkan di daerah-daerah yang lahannya terbengkelai, pemerintah semestinya tak perlu mengirim TKI ke sejumlah negara," katanya.

Tragisnya, kata Rizal, mayoritas TKI, khususnya TKW, merupakan warga nadhliyin (anggota ormas Nadhlatul Ulama).

Maka itu, Rizal menekankan ketidakberdayaan di bidang ekonomi membuat ummat Islam sering menjadi korban sistem dan kebijakan penguasa yang memiskinkan.

Karenanya, ummat harus membangun landasan ekonomi yang kuat agar memiliki posisi tawar lebih kuat dibandingkan para politisi dan pembuat kebijakan publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement