Kamis 06 Feb 2014 19:18 WIB

10 Keresahan Masyarakat Terhadap 'Trias Politica'

Rep: Mansyur Faqih/ Red: Djibril Muhammad
Istana Presiden
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Istana Presiden

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina bekerja sama dengan Awesometrics merilis 10 isu yang menjadi keresahan masyarakat Indonesia. Isu-isu tersebut ditampung dari celoteh masyarakat yang terkait tiga lembaga negara. Yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Associate Director Paramadina Graduate School, Abdul Malik Gismar menjelaskan, negara ikut andil menyuburkan ketegangan yang terjadi di Tanah Air. Karena negara tidak sigap mengakomodasi kebebasan sipil yang berkembang sejak era reformasi.

"Padahal yang dituntut rakyat pada umumnya adalah tuntutan yang sah. Misalnya terkait listrik mati, jalan rusak, layanan kesehatan, dan lain-lain," paparnya saat memaparkan hasil survei di Jakarta, Kamis (6/2).

Dari riset, lanjutnya, terlihat kalau tata kelola menjadi persoalan mendasar bagi publik. Padahal melalui tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi bisa mendapat tempat di hati masyarakat.

"Ini tidak sehat. Sebab pada akhirnya rakyat akan mengukur, melihat, menagih janji yang sempat dilontarkan. Kalau tidak, demokrasi bisa kehilangan kredibilitasnya," paparnya.

Peneliti Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Koesworo Setiawan menjelaskan, riset dilakukan dengan melihat dan menganalisis kicauan para pengguna Twitter terkait tiga lembaga negara selama November-Desember 2013.

Hasilnya, lembaga eksekutif paling banyak dibicarakan para pengguna Twitter. Baik pemerintah pusat hingga tingkat kelurahan. Lembaga eksekutif dibicarakan oleh 44 persen dari total 55 juta pengguna Twitter di Indonesia. Sehingga, total pembicaraan terkait lembaga eksekutif mencapai 221 ribu celoteh.

Setelah eksekutif, lembaga yudikatif dibicarakan sebanyak 145 ribu celoteh (29 persen) dan legislatif 134 ribu celoteh (27 persen).

"Hasil riset menunjukan, tiga lembaga tersebut mengalami defisit kapasitas yang bisa berdampak pada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi prosedural yang mengabaikan penguatan demokrasi substansial akan sangat mengkhawatirkan," ujar Koesworo.

Ia menjelaskan, Twitter dipilih karena lebih //genuine// (muncul dari benak publik) dan minim sensor. Sehingga, bisa menghasilkan data yang lebih merepresentasikan apa yang dirasakan dan dipikirkan masyarakat Indonesia.

"Kami berharap, apa yang disajikan ini bisa menjadi masukan bagi para stakeholder. Juga terkait dengan pemilu 2014 agar bisa menjadi momentum meningkatkan kualitas demokrasi yang lebih baik. Yaitu dengan memilih wakil rakyat dan pemimpin yang memiliki kapasitas," paparnya.

Berikut hasil rekapitulasi 10 keresahan publik yang ditangkap dalam penelitian ini:

Terkait eksekutif:

1. Layanan publik 55,1 persen;

2. Kualitas pendidikan 13,8 persen;

3. Layanan kesehatan 7,5 persen;

4. Hubungan RI-Australia 5,5 persen;

5. Century 5 persen;

6. Polemik MK 3,6 persen;

7. Kinerja jaksa 2,2 persen;

8. Kinerja DPR 2,5 persen;

9. Pemilu 2,5 persen;

10. Berantas korupsi 1,2 persen.

Terkait legislatif:

1. Hubungan RI-Australia 26,7 persen;

2. Kinerja DPR 18,8 persen;

3. Pemilu 18,8 persen;

4. Korupsi 7,8 persen;

5. Century 7,7 persen;

6. Polemik MK 5,7 persen;

7. Anggaran negara 4,3 persen;

8. Perilaku negatif (plesir ke luar negeri) 3,9 persen;

9. Kinerja jaksa 3,8 persen;

10. Politisi korup 2,3 persen.

Terkait yudikatif:

1. Layanan kesehatan (kasus kriminalisasi Dokter Ayu) 20,3 persen;

2. Polemik MK 17,2 persen;

3. Hubungan RI-Australia 14,2 persen;

4. Kinerja hakim 11,6 persen;

5. Mafia kasus 11,3 persen;

6. Politisi korup 7,8 persen;

7. Berantas korupsi 5,7 persen;

8. Kinerja jaksa 5,1 persen;

9. Kasus pajak 4,9 persen;

10. Korupsi 1,9 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement