Rabu 29 Jan 2014 13:31 WIB

Aktivis Kritik Pengelolaan Hutan 'April'

Kehutanan - ilustrasi
Kehutanan - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Sejumlah organisasi lingkungan mengkritik peluncuran program kebijakan pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) yang dianggap sebagai akal-akalan untuk penguasaan hutan alam nasional.

"Itu hanya muslihat untuk menghancurkan hutan alam yang tersisa di izin-izin mereka yang masih bermasalah secara hukum terutama di Propinsi Riau," kata Musim Rasyid, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Rabu.

Jikalahari bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau secara terbuka mengajak masyarakat untuk menolak program yang diluncurkan perusahaan kertas dan bubur kertas, "APRIL" pada Selasa 28 Januari 2014 di Jakarta.

"Kebijakan ini bagian dari kebijakan HCVF (Hutan Bernilai Konservasi Tinggi) yang seperti biasanya mereka langgar, dan tidak signifikan dengan upaya penyelamatan hutan," katanya.

Semenanjung Kampar dan Pulau Padang menurut dia merupakan kawasan HCVF berdasarkan hasil penelitian APRIL, namun kawasan itu tetap saja mereka konversi menjadi hutan tanaman berupa akasia.

"Kami meminta jaringan HCFV Network untuk meluruskan pengertian HCVF yang dipahami oleh APRIL. Sebab, inti HCFV salah satunya tidak boleh menebang hutan alam di kawasan HCFV. Namun APRIL tetap menebang hutan alam," ujar Muslim.

APRIL menurut dia juga telah merusak kawasan gambut seluruh konsesi mereka di Riau termasuk pulau-pulau kecil.

Dengan demikian, kata dia, jelas bahwa program tersebut adalah akal-akalan APRIL agar tidak dikeluarkan dari World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), karena dianggap tidak punya komitmen bisnis ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sepekan sebelumnya, Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) terancam dikeluarkan dari keanggotaan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), atau Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan.

WBCSD adalah organisasi beranggotakan 200 perusahaan besar di seluruh dunia yang membuat komitmen bisnis ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Enam poin kebijakan Sustainable Forest Management Policy, menurut dia sama sekali tidak menyinggung kejahatan korporasi maha dahsyat APRIL.

"Seolah-olah dengan Sustainable Forest Management Policy, APRIL 'bersih' dari kejahatan mahadahsyat," katanya.

APRIL bersama 17 perusahaannya di Riau juga terlibat dalam kasus korupsi kehutanan karena menyuruh anak-anak perusahaannya menebang hutan alam di Kabupaten Pelalawan dan Siak untuk bahan baku pulp and paper, dengan total kerugian negara senilai setidaknya satu triliun rupiah.

"Tujuh perusahaan APRIL juga terlibat kasus illegal logging dan penghancuran lingkungan hidup tahun 2006 yang direkturnya dijadikan tersangka oleh Polda Riau era Irjen Pol Sutjiptadi," kata Riko Kurniawan, Eksekutif Daerah Walhi Riau.

APRIL juga dituding telah merusak ekologis di Riau, terbukti sejak September 2013 hingga saat ini sidang gugatan perbuatan hukum sedang berlangsung di Pekanbaru, dimana Kementerian Lingkungan Hidup menggugat PT Merbau Pelalawan Lestari (anak usaha APRIL) melakukan perusakan lingkungan hidup sehingga merugikan lingkungan Rp16 triliun.

Menurut Riko, selain merusak lingkungan hidup berupa gambut sangat dalam, terlibat korupsi kehutanan, illegal logging, pembakaran hutan dan lahan, APRIL juga terlibat konflik dengan masyarakat tempatan.

Seperti kehadiran PT RAPP di Teluk Meranti dan Pulau Padang, Mitra mereka PT Sumatera Riang Lestari berkonflik di Pulau Rupat dan Pulau Ragsang.

"Dalam Komitmen ini kami tiak melihat ada komitmen yang jelas tentang penyelesaian konflik dengan pengakuan hak-hak hidup masyarakat di konsesi mereka," katanya.

Jikalahari dan Walhi Riau menilai, seharusnya kebijakan APRIL yaitu, menghentikan seluruh pasokan bahan baku dari hutan alam dan menurunkan kapasitas produksi sesuai dengan eksisting produksi akasia yang saat ini mereka kelola.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement