REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal di UU No 42 Tahun 2008 yang berimplikasi pelaksanaan pemilu secara serentak dalam Pemilu 2019 mendatang dinilai inkonsisten dan bersifat politis.
"Seharusnya pemilu legislatif dan pilpres yang serentak harusnya disertai dengan pembatalan pasal 9 terkait presidential threshold 20 persen kursi DPR," ujar Presidium Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara Indonesia (ASHTN Indonesia) Afifi, di Jakarta, Jumat (24/1).
Menurut alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini, semua parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak yang sama untuk mengajukan capres dan cawapres. "Pemilu serentak harus disertai penghapusan presidential threshold. Putusan MK ini tidak tuntas," kata Afifi.
Ia mempertanyakan bagaimana penentuan syarat presidential threshold sebesar 20 persen sedangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan secara bersamaan.
Sedangkan menurut Sudiyatmiko Aribowo, Presidium ASHTN lainnya putusan MK yang sifatnya conditional constitution mengandung unsur politis. Asas kemanfaatan yang selama ini kerap digunakan MK justru untuk melegalkan putusannya.
"Kami melihat, putusan MK ini lebih bersifat politis ketimbang hukum," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini.
Sementara Presidium ASHTN lainnya Mei Susanto menyebutkan putusan MK ini juga memberi pesan penting bagi parpol untuk menyiapkan rekrutmen kepemimpinan nasional secara baik.
"Putusan MK ini juga memberi pesan penting bagi partai politik untuk menyiapkan secara serius calon pemimpin nasional," tegas Mei Susanto yang juga penulis buku "Hak Budget Parlemen di Indonesia' ini.