REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra memiliki strategi khusus agar pemilu serentak bisa berlangsung pada 2014. Pihaknya meminta MK menafsirkan pasal 6A ayat 2 dan pasal 22E UUD 1945.
Dia mengatakan, permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang dipimpin oleh Efendi Ghozali, tidak memberikan jalan keluar setelah pasal 2 UU Pilpres dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Itu sebabnnya ketentuan itu tetap sah digunakan untuk pemilu 2014.
“Dengan demikian, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum,” kata Yusril, Kamis (23/1).
Dia menambahkan, permohonan yang diajukan oleh pihaknya dilengkapi jalan keluar agar pemilu serentak dapat berlangsung pada 2014. Caranya, MK diminta menafsirkan pasal 6A ayat 2 dan pasal 22E UUD 1945.
Dimana, partai politik peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sblm pemilu legislaif. Dengan begitu, menurut dia, tidak perlu UU lagi untuk melaksanakanya. Sedangkan, tafsiran pasal 22E ayat 1 menyatakan, pemilu dilaksanakan hanya satu kali dalam pemilihan.
“Berarti pileg dan pilpres harus disatukan, tak perlu ubah UU untuk melaksanakannya,” ujar dia.
Pihaknya masih mempertimbangkan, apakah akan meneruskan permohonan ini atau tidak. Sayangnya, MK dinilai memiliki pertimbangan poltik, karena ditekan dengan sejumlah parpol besar agar pemilu serentak dilangsungka pada 2019.
“Sebab, putusan yang seharusnya bisa dibacakan sejak 2013 lalu, ditunda hingga Januari 2014 agar dianggap mendesak bila harus berlaku di 2014,” katanya.