REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga LPG (liquid petroleum gas) 12 kilogram dinilai penuh intrik dan kejanggalan. Meski kenaikan harga LPG domain Pertamina, Presiden SBY mengaku kenaikan itu tanpa sepengetahuan pemerintah.
Sementara, Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan rencana kenaikan harga LPG 12 kg sudah lama dibahas. Hal janggal lain adalah silang pendapat Menko Perekonomian Hatta Rajasa dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Koordinator Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, kenaikan itu bukan berdasarkan kendali pemerintah. "Pertamina berjalan tanpa koordinasi dengan pemerintah. Pertamina saat ini dikendalikan oleh mafia," ujarnya di Jakarta, Kamis (16/1).
Menurut Uchok, kenaikan harga ini sudah direncanakan Pertamina dan mafia. Sebab, kenaikan harga LPG 12 kg berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang tertuang dari hasil audit BPK Semester I-2013 terhadap Pertamina untuk sektor gas.
Dalam rekomendasi tersebut, Pertamina sepanjang 2011-2012 mengalami kerugian Rp 7,73 triliun. "Hasil audit BPK tidak obyektif. Ini seperti pesanan saja," ucap Uchok.
Sejatinya, kata Uchok, kenaikan ini sudah diprakondisikan, dimana pemerintah tidak pernah mau mengubah porsi penjualan gas antara kebutuhan luar negeri dengan dalam negeri. Ia berkata, pemerintah tetap mempertahankan porsi penjualan gas ke luar negeri tetap tinggi, sementara dalam negeri dipatok rendah.
Berdasarkan data FITRA yang diperoleh dari Kementerian ESDM, porsi penjualan gas pemerintah pada 2012 untuk dalam negeri 40,7 persen dan untuk ekspor 59,3 persen. Akibat dari minimnya pasokan gas ini, membuat pasokan LPG untuk pasar dalam negeri sangat sedikit.
Karenanya, masih kata Uchok, Pertamina melakukan impor untuk memenuhi pasokan gas dalam negeri.
Awal Desember 2013 --sebelum harga LPG dinaikkan-- Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengatakan impor LPG hanya 20-30 persen dari kebutuhan. Namun, tiba-tiba pada awal Januari ini, Karen berujar impor LPG 70 persen.
Inkonsistensi ini, membuat Uchok meminta BPK untuk mengaudit jumlah impor LPG oleh Pertamina. "Apa benar impor sebanyak itu. Mengapa tidak konsisten, harusnya itu diaudit," ujarnya mengakhiri.
Ia berkata, jika Pertamina tidak punya data yang pasti mengenai berapa besar impor LPG yang dilakukannya, publik harus curiga, itu menunjukkan Pertamina tidak ada transparansi.