REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran calon presiden (capres) muda adalah sebuah keharusan. Pandangan ini mengemuka dalam pemaparan hasil survei Institut Riset Indonesia (Insis) di Hoteln Century Park, Senayan Jakarta, Ahad (12/1).
"Capres muda bukan hanya alternatif melainkan sebuah keharusan," ujar Ziyad Falahi, seorang akademisi yang mengajar di sejumlah perguruan tinggi seperti UPN Veteran dan Al Azhar. Menurut dia, hal ini bukan merupakan hal yang baru di Indonesia.
Dicontohkan Ziyad, Soekarno mendirikan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada usia 26 tahun. Sementara Mohamad Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda pada usia muda. Bahkan, Sutan Syahrir menjadi perdana menteri termuda yakni 37 tahun.
Namun sayangnya, kata Ziyad, sekarang ini politisi muda belum banyak dilirik menjadi capres atau calon wakil rakyat. Dari data yang ada capres yang dimajukan parpol kebanyakan berusia di atas 45 tahun. Selain itu anggota DPR pun mayoritas berusia di atas 45 tahun.
Hal ini lanjut Ziyad, bisa disebabkan tidak berjalannya kaderisasi di parpol. Penyebab lainnya diakibatkan pendidikan politik yang diambil alih media dan media sosial.
Di sisi lain, ungkap Ziyad, ada skenario untuk membuat apatisme kalangan muda berpolitik. Kondisi ini dikarenakan penguasa takut anak muda bersuara banyak. Contohnya pengarahan pendidikan ke jenjang SMK dengan target selepas sekolah langsung bekerja menjadi buruh.
Peneliti Insis, Mochtar W Oetomo mengatakan, capres alternatif diperlukan agar partisipasi pemilih meningkat. Selama ini masyarakat sudah jenuh dengan nama-nama lama. Bahkan ada pameo yang menyebutkan 4L atau 'Lu lagi lu lagi'.
Menurut Mochtar, dari hasil survei Insis menunjukkan kehadiran capres muda dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Fakta ini menunjukkan adanya magnet capres muda untuk meningkatkan partisipasi warga dalam pemilu.
"Kualitas pemilih tak bisa dilepaskan dari partisipasi pemilih," ujar Mochtar. Oleh karenanya survei partisipasi pemilih dibutuhkan selain survei popularitas maupun elektabilitas.