REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelangsungan hidup satwa Kebun Binatang Surabaya dinilai harus diutamakan terlepas dari konflik internal yang terjadi. Perhatian terhadap konservasi satwa juga harus dilakukan bersama semua elemen.
Menanggapi kembali matinya singa di Kebun Binatang Surabaya (KBS) serta seekor gajah di Jambi, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Sonny Partono mengatakan, sejak 2010 Kemenhut sudah mengambil alih akibat adanya persaingan tidak sehat di dalam manajemen KBS.
Kemudian, pada 2012, Kemenhut mengembalikan pengelolaan KBS kepada Wali Kota Surabaya yang memberi perhatian cukup baik. Namun karena kisruh internal belum juga usai, hewan menjadi korban. ''Satwa di KBS mati terjerat. Tapi kami tetap melakukan penyelidikan dibantu Kepolisian Resor untuk menemukan siapa sebenrnya yang berulah,'' kata Sonny.
Persoalan gajah, diakui Sonny memang butuh upaya panjang karena seringnya terjadi konflik lahan. Perambahan lahan oleh warga dan penanaman tanaman yang juga bisa dikonsumsi gajah, membuat gajah masuk ke lahan warga.
Warga yang geram atas kedatangan gajah yang dianggap gangguan kemudian menaruh racun. ''Gajah tidak diracuni langsung. Ini yang membuat penyelidikan agak sulit. Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti,'' ungkap Sonny.
Kemenhut tetap berupaya dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang perlindungan gajah baik oleh Indonesia maupun internasional. Penghalauan gajah liar menggunakan gajah jinak juga tetap berjalan.
''Hanya saja gajah liar masuk ke lahan warga pada malam hari, jadi sulit terpantau,'' kata dia. Upaya penangkapan langsung pihak-pihak yang dianggap menjadi pemicu masalah diakui Sonny kurang solutif. Sebab penangkapan itu juga memiliki efek.
Yang jelas, penanganan masalah konservasi tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Tokoh masyarakat dan LSM juga diikutsertakan membantu penyelamatan gajah.