Selasa 07 Jan 2014 11:11 WIB

Konvensi Capres Dinilai Sekadar Gincu Politik

Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro berpendapat konvensi yang diselenggarakan sejumlah partai dengan tujuan memilih bakal calon presiden dan kandidat wakil presiden terkesan hanya sekadar gincu politik.

"Bahkan, juga dijadikan sebagai 'penawar' bagi 'distrust' (ketidakpercayaan) publik yang ditujukan ke partainya," kata Prof. Wiwieq (sapaan akrab Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D.) ketika dihubungi dari Semarang, Selasa, menjawab pertanyaan mengenai korelasi antara sistem konvensi dan kualitas calon presiden dan kandidat wakil presiden pada Pemilu 2014.

Kesan itu mengemuka, kata Prof. Wiwieq, karena "leverage factor" (faktor pengungkit) utamanya adalah kepentingan partai untuk mendongkrak kualitas elektoralnya agar pada Pemilu 2014 mendapatkan dukungan yang signifikan.

"Alasan utama itulah yang menyebabkan konvensi terkesan hanya sekadar gincu atau pewarna saja," kata penulis buku "Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali" (Yogyakarta: Ombak, 2009) itu.

Prof. Wiwieq yang juga dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu menilai konvensi tak ubahnya bak "gebyar politik" yang digunakan partai untuk membuat opini publik.

"Tujuan konvensi yang tidak nyambung dengan perbaikan kualitas kader dan calon pemimpin inilah yang menyebabkan konvensi yang dilakukan partai sangat kontekstual dan bersifat sementara," ucapnya.

Dengan kata lain, kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember itu, konvensi dimunculkan oleh partai sebagai respons atas permasalahan besar yang dihadapi partai.

Dengan kecenderungan model konvensi tersebut, lanjut Prof. Wiwieq, konvensi yang dilaksanakan partai hanya bersifat tentatif dan tidak berkesinambungan.

Ia lantas mencontohkan Partai Golkar yang pada Pemilu 2004 mencanangkan konvensi. Namun, tidak berkelanjutan, baik pada Pemilu 2009 maupun Pemilu 2014. Konvensi ditinggalkan Golkar ketika ketua umum partai dijadikan calon presiden.

"Bertolak dari fenomena tersebut, ke depan konvensi perlu diberikan payung hukum yang jelas agar dampaknya lebih positif terhadap proses kaderisasi dan munculnya calon-calon pemimpin yang berkualitas," kata Prof. Wiwieq yang juga dikenal sebagai pakar otonomi daerah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement