REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Muhammad Fakhruddin/wartawan Republika
Perluasan lahan sawit di Taman Nasional Danau Sintarum menyebabkan banjir dan wabah penyakit
Awan hitam menyelimuti langit seiring gelombang pasang air danau yang mulai memasuki selokan rumah warga. Hujan yang turun hampir setiap hari membuat air danau sudah menyentuh bibir dermaga Pulau Majang, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Warga pun bersiap membuat panggung setinggi dua meter di dalam rumah untuk tempat tidur dan menyimpan barang-barang berharga. Hal ini untuk mengantisipasi banjir yang sulit diprediksi.
Penduduk yang sempat menaman labu kuning terpaksa memanen dini tanamannya. Sebab, ketinggian air perlahan tapi pasti selalu naik saat hujan turun. Gang yang menghubungkan antara satu rumah dengan rumah lainnya, hanya bisa dilalui dengan jembatan kayu yang tinggi tiangnya mencapai tujuh meter.
Tiga pekan semenjak kemarau berakhir, ketinggian air sudah mencapai setengah tiang penyangga rumah yang berbentuk panggung. “Hampir setiap hari hujan turun, membuat warga waswas,” kata Yeni Juriah (30), warga Pulau Majang, kemarin.
Sejumlah warga bahkan meninggikan tiang penyangga rumahnya atau membuat bangunan bertingkat dua untuk menaruh perabotan rumah tangga dan tempat berteduh apabila banjir datang. Warga membuat penyangga rumah panggung dengan ketinggian rata-rata mencapai 7,5 meter untuk menghindari luapan air danau. “Namun, airnya tetap masuk ke dalam rumah,” kata Yeni.
Tingginya tiang penyangga dibuat untuk mengantipiasi agar banjir tidak merenggut korban, seperti yang terjadi pada 2010. Saat itu, banjir merenggut nyawa seorang warga Pulau Majang, sehingga membuat masyarakat trauma. Banjir juga merendam sekolah dan lapangan bola yang berada di tengah desa, sehingga warga tidak bisa beraktivitas.
Meningkatnya debit air di Danau Sintarum saat musim hujan seiring dengan pembukaan lahan sawit di sekitar Taman Nasional Danau Sintarum (TNDS). Pegunungan di atas Danau Sintarum tampak gundul karena sawit yang ditanam masih berusia sangat belia.
Sawit yang berakar serabut tidak mampu membendung air hujan yang turun ke tanah. Sehingga, air langsung mengalir ke sungai yang bermuara ke danau dan merendam Pulau Majang.
Letak Pulau Majang yang berada di tengah Danau Sintarum menjadi langganan banjir saat musim hujan. Sebab, Danau Sintarum menjadi muara dari lima sungai, yakni Sungai Seriang, Sungai Tangit, Sungai Seneunk, Sungai Sumpak, dan Sungai Ulu Buyan.
Mata air dari Gunung Lanjak, Gunung Pan, dan Gunung Badau yang mengalir melalui lima sungai itu, kemudian bermuara ke Danau Sintarum. Dari Danau Sintarum, kemudian mengalir lagi ke Sungai Tawang dan Sungai Batang Belitung dan mengalir ke Sungai Kapuas yang bermuara di Kecamatan Kakap, Kabupaten Kuburaya, Pontianak, Kalimantan Barat.
Namun, ketiga gunung yang menjadi hulu Danau Sintarum kini berubah menjadi perkebunan sawit. Hamparan sawit mengepung kawasan TNDS. Perkebunan sawit memadati sejumlah sisi ruas sungai yang menuju danau. Kelapa sawit yang berakar serabut tidak mampu menampung air hujan. Akibatnya, luapan air danau di Pulau Majang semakin tinggi setiap tahunnya.
Luapan air Danau Sintarum ternyata juga membawa serta wabah penyakit. Sehingga, mengancam habibat satwa air dan kesehatan Suku Melayu di Pulau Majang.
Masyarakat Pulau Majang yang sehari-hari memanfaatkan air dari Danau Sintarum untuk kebutuhan sehari-hari terkena dampak langsung pencemaran air danau. Tidak sedikit warga yang mengalami gatal-gatal dan terjangkit diare. “Setiap bulan tetap ada yang sakit. Jumlahnya mencapai belasan orang, anak-anak dan dewasa,” kata bidan Desa Pulau Majang Tini Asheeqa.
Menurut Tini, warga desa sudah sering mendapat penyuluhan untuk tidak mengonsumsi air danau dan lebih baik menampung air hujan. Tapi, apabila hujan tidak turun, warga terpaksa mengonsumsi air danau. Warna air danau hitam kemerahan. Ketika sedang pasang atau surut, air berubah warna menjadi putih keruh. Menurut Tini, saat air surut pada musim kemarau, air danau sangat rawan menimbulkan alergi kulit.
Kondisi terparah pernah terjadi pada 2010 ketika puluhan warga mengalami gatal-gatal hingga menyebabkan korengan. Wabah korengan terjadi pascabanjir besar yang menenggelamkan pulau dan rumah warga.
Mantan ketua nelayan Pulau Majang Wan Hasanuddin mengatakan, Danau Sintarum telah tercemar zat kimia dari pupuk dan pestisida kelapa sawit. Pencemaran tersebut membuat habibat hewan dan tumbuhan di Danau Sintarum terancam. Hal ini berdampak langsung pada menurunnya tangkapan ikan nelayan. Tangkapan ikan nelayan saat ini maksimal hanya lima kilogram sehari. “Dulu, minimal bisa 15 kilogram per hari,” katanya.
Menurutnya, Danau Sintarum hanya tinggal nama. Jenis ikan endemik Danau Sintarum sudah banyak yang punah. Antara lain, ikan ketutung, ikan kapas, ikan belantau. Bahkan, ikan khas dari danau sintarum, yakni siluk merah (Arwana redfish) juga sudah hilang dari habibat aslinya.
Seiring dengan merosotnya tangkapan ikan, banyak warga yang beralih profesi menjadi pekerja sawit di rantauan. Sedikitnya, 235 dari 298 kepala keluarga (KK) penduduk Pulau Majang meninggalkan pulau untuk bekerja di perkebunan sawit. Mereka bekerja sebagai buruh di berkebunan, pencatat administrasi, hingga menjadi mandor yang mengawasi buruh sawit.
Mereka memilih bekerja di perkebunan sawit karena sudah tidak ada pekerjaan lain yang bisa diharapkan di Pulau Majang. Keramba ikan hanya bisa dua kali dipanen dalam setahun.
Pekerja sawit tidak hanya kepala keluarga, tapi juga ibu-ibu. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan anak-anak di Pulau Majang hingga berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Remaja tamatan sekolah pun lebih memilih menjadi pekerja sawit ketimbang menjadi nelayan. Randy (25), warga Pulau Majang mengaku memilih berkerja sebagai buruh sawit karena lebih menjanjikan dengan penghasilan yang pasti, ketimbang menjadi nelayan yang belum tentu menghasilkan uang.
Randy menggarap sawit di Desa Sungai Talian, Kecamatan Badau. Tugasnya, antara lain, menyemprotkan pestisida dengan gaji Rp 50 ribu per hari. Upah tersebut diberikan setiap dua minggu sekali. “Kalau kerja borongan, sehari bisa Rp 100 ribu,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Ayu Lestari (21), warga Pulau Majang. Anak nelayan tamatan sekolah dasar ini terpaksa bekerja di perkebunan sawit karena susah mencari pekerjaan. Ayu menyadari, perkebunan sawit mencemarkan sungai dan merusak hutan. Tapi, dia tak mampu membendung ekspansi sawit karena membutuhkan lapangan pekerjaan.
Kepala Desa Pulau Majang Ilyas Arifin mengatakan, perekonomian warga sedikit tertolong dengan bekerja sebagai buruh sawit. Tapi, sawit juga yang membuat alam di TNDS rusak. Akibatnya, masyarakat Pulau Majang tidak dapat lagi mengandalkan hasil dari alam untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Sekarang, tidak ada kayu lagi, terjadi pencemaran akibat racun dari pupuk sawit,” ungkapnya.
Masyarakat, terutama para sesepuh Pulau Majang mulai khawatir dengan kondisi alam di TNDS. Mereka mengaku terancam dengan keberadaan perkebunan sawit yang menyebabkan hilangnya mata pencaharian Suku Melayu yang mendiami Pulau Majang. “Ikan sudah berkurang. Orang tua mengkhawatirkan nasih anak-anaknya sebagai generasi penerus,” ujarnya.
Generasi penerus yang bekerja di perkebunan sawit, seperti menggali lubang kuburnya sendiri. Sebab, sawit yang mereka besarkan saat ini juga mengancam keberadaan pulau yang telah diwariskan leluhur Pulau Majang. Debit air danau terus meningkat, Pulau Majang terancam tenggelam.