REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
MUI meminta pemerintah menyerahkan daftar obat tak bersertifikat halal.
JAKARTA – Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, sertifikasi halal pada vaksin dan obat-obatan bukan hal yang mustahil terjadi.
"Masalahnya adalah keinginan dan kebijakan. Apakah pemerintah ingin melindungi konsumen atau tidak," ujar dia, Kamis (19/12). Dia mengatakan, persoalannya bukan pada teknologi atau ilmu pengetahuan.
Perkembangan teknologi sudah sangat maju, sehingga bisa ditemukan bahan lain yang bisa digunakan sebagai katalisator selain memakai enzim yang berasal dari babi, misalnya. Ia menambahkan, makhluk bersel satu bisa menjadi pengganti enzim babi.
Lukmanul Hakim menambahkan, ia sudah bertemu dengan sejumlah produsen obat untuk membicarakan mengenai sertifikat halal. Dalam pertemuan itu terungkap, produsen obat sebenarnya mau produknya mempunyai sertifikat halal.
Namun, prosesnya dilakukan secara bertahap. Ia mengatakan, ada ketakutan dari pihak produsen produknya tidak laku di pasaran jika harus disertifikasi. MUI mendorong agar pemerintah dapat memfasilitasi para pelaku industri obat ini.
Intinya, kata Lukmanul Hakim, mereka didorong untuk membuat obat dan vaksin halal. “Pemerintah harus memberi anggaran untuk penelitian obat halal. Obat halal itu ada, tapi belum ketemu. Proses itu harus terus dilakukan.”
Ia menuturkan, sekitar 90 persen bahan baku obat-obatan berasal dari negara yang belum memperhatikan atau mengetahui teknologi halal.
Mereka banyak memakai enzim dari babi karena ketersediaannya banyak dan susunan enzim tersebut yang mudah beradaptasi dengan manusia.
Ketua MUI Ma’ruf Amin meminta pemerintah memberikan daftar obat yang belum bersertifikat halal. Melalui daftar itu, nanti MUI melakukan penilaian periodik. Bisa enam bulan atau setahun sekali.
“Penilaian akan membuat obat-obat yang masuk kelompok darurat bisa diperbarui,” kata Ma’ruf. Obat dalam kategori darurat ini masuk klasifikasi tidak halal, tetapi boleh digunakan selama belum ada penggantinya.
Ia menegaskan, penggunaan alasan darurat oleh produsen obat untuk menghindari sertifikasi halal selama ini tidak tepat.
Kondisi darurat tak bisa berlangsung terus-menerus. Dalam Islam, darurat berarti kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan mengancam jiwa manusia.
Dalam konteks penggunaan obat-obatan yang dimaksud darurat adalah tidak tersedianya obat lain. Dan, bila tidak mengonsumsi obat tersebut bisa menyebabkan kematian atau penyakitnya parah. “Harus dipastikan dulu tidak ada obat lain yang halal,” kata Ma’ruf.
Ia mencontohkan, vaksin polio boleh digunakan, tapi tidak menjadi halal. Putusan penggunaan vaksin tersebut harus melalui MUI.
Menurut Ma’ruf, dalam pemberian obat, dokter juga memainkan peran besar. Mereka harusnya memberikan obat halal kepada pasiennya.
Bila tidak, mereka bisa kena sanksi. Sekarang, kata Ma’ruf, belum ada payung hukum yang mengatur semua itu.
Tapi, masyarakat bisa melakukan sanksi sosial pada dokter bersengkutan. “Sebut saja dokter yang tak mau memberikan obat halal,” katanya.
MUI berniat mengadakan pertemuan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) agar dapat lebih memahami mengenai pentingnya obat bersertifikat halal. Menurut Ma’ruf, lembaganya juga bakal mengundang Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.
Ma’ruf mengatakan, MUI akan meminta penjelasan Nafsiah mengenai pernyataanya menolak sertifikasi halal dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Ia pun menolak tudingan bahwa sertifikasi halal obat alasan utamanya adalah uang.
“Desakan kami agar produsen obat menyertifikasi halal produknya semata-mata untuk melindungi umat Islam,” kata Ma’ruf.