Kamis 26 Dec 2013 19:29 WIB

Nasib Mengenaskan Cagar Budaya

Serpihan tembikar dan beberapa benda purbakala di Pendopo Watu Gilang, Lokasi Situs Mangirejo, Saradan, Madiun, Jatim.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Serpihan tembikar dan beberapa benda purbakala di Pendopo Watu Gilang, Lokasi Situs Mangirejo, Saradan, Madiun, Jatim.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Bukan kabar mengejutkan jika kondisi cagar budaya di Indonesia sangat memprihatinkan. Salah satu buktinya dapat ditemukan di eks Karesidenan Madiun. Baik Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Madiun sepertinya sangat acuh dengan warisan sejarah.

Itu dibuktikan dengan benda-benda bersejarah dari peradaban pertama di Madiun yang kondisinya sangat memprihatinkan. Situs yang memiliki nilai sejarah tinggi ini dapat ditemukan di Dusun Tambak Boyo, Desa Ngurawan, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun. Butuh waktu 45 menit dari pusat kota untuk mencapainya. Daerah ini cukup mudah dijangkau transportasi lantaran berada di jalur utama Madiun-Ponorogo.

Dari beberapa benda cagar budaya yang berserakan begitu saja di pelataran rumah dan tergeletak di kebun, lumpang batu paling menarik perhatian. Pasalnya, dari benda berbentuk bundar itulah catatan adanya sebuah peradaban Madiun kuno dapat terlacak.

Lumpang ini sangat spesial karena di sisi luarnya terdapat ukiran bertuliskan 1340 saka atau tahun pembuatannya sekitar 1418 masehi. Fungsi lumping adalah sebagai tempat menumbuk padi. Situs ini merupakan peninggalan paling tua yang ditemukan di Madiun.

Lumpang ini disimpulkan adalah peninggalan Kerajaan Gegelang yang menjadi bagian kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan beraliran Hindu tersebut runtuh menjelang awal abad ke-16.

Semakin surutnya pengaruh Majapahit membuat Kerajaan Gegelang ditundukkan Kesultanan Demak-Mataram Islam. Sisa peradabannya dapat ditemukan dengan merujuk beberapa prasasti yang tertinggal.

Selain dibiarkan tergeletak, benda berserajah ini malah difungsikan sebagai pot bunga. Karena sudah berpuluh tahun, akar pohon beringin semakin mencengkeram erat setiap sisi lumpang. Meski diameternya hampir 1 meter dengan ketebalan 10 centimeter, bukan tidak mungkin beberapa tahun lagi bakal retak dan hancur kalau terus dibiarkan begitu saja.

Situs bersejarah ini berada di pelataran rumah Ibnu Huda, yang satu kompleks dengan Masjid Maqomul Hidayah. Ibnu Huda adalah pengurus masjid yang menjadi generasi kelima dari Zainal Abidin, seorang ulama yang merupakan perintis berdirinya Desa Ngurawan pada abad ke-18.

Juru pelestari situs Ngurawan, Syaiful Huda mengaku tidak bisa berbuat apa-apa terkait nasib lumpang. Benda bersejarah tersebut sudah sejak awal dibiarkan begitu saja terkena panas dan hujan. Dia bukan bermaksud lepas tangan, namun tidak tahu harus bersikap bagaimana menyikapi situs paling tua ini.

Syaiful tidak berani mengingatkan pemilik rumah, yang merupakan orang paling dihormati di desanya agar memfungsikan lumpang sebagaimana mestinya. Begitu pula, kata dia, petugas Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan yang pernah mendata situs tersisa tidak bisa berbuat apa-apa melihat kenyataan itu.

Dia hanya berharap, Pemkab Madiun yang selama ini tidak pernah memperhatikan situs bersejarah agar tergerak merawatnya. “Lumpang ini sudah tidak terurus sejak lama, dan tidak ada perhatian dari Pemda,” katanya.

Selain lumpang, terdapat dua punden yang ditaruh di depan gerbang Masjid Maqomul Hidayah. Punden khas peninggalan kerajaan beraliran Hindu ini sekarang difungsikan sebagai penahan pintu gerbang.

Berjarak 100 meter dari masjid, ada pula dua punden yang tergeletak di perkebunan warga. Karena faktor berat dan tidak ada tempat untuk penyimpanan, situs bersejarah ini dibiarkan begitu saja.

Syaiful juga menyimpan lima situs lain yang tersisa, yaitu miniatur candi, arca dewi pawarti, dua jaladwari, dan satu patung lembu, yang bagian kepalanya terpenggal. Itu pun ditaruh di luar lantaran merasa rumahnya yang sederhana itu tidak mampu lagi menjadi tempat penyimpanan.

Syaiful melanjutkan, peninggalan Kerajaan Gegelang lainnya sebenarnya cukup banyak. Hanya saja, beberapa situs dihancurkan oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan bahan bangunan. Selain bahan baku situs terbuat dari batu dengan kualitas bagus, kata dia, diharapkan penghilangan beberapa arca manusia dilakukan untuk menghindarkan masyarakat setempat dari ritual agama yang melenceng.

Bupati Madiun Muhtarom beberapa kali dikontak tidak merespon. Pun ketika Republika mengirimkan pesan singkat (SMS), tidak ada balasan. Muhtarom tidak menjawab mengapa selama ini Pemkab Madiun seolah tidak peduli dan mengabaikan benda cagar alam yang memiliki warisan nilai sejarah tinggi.

Nasib Situs Mangir

Di Kabupaten Madiun, terdapat banyak situs berusia ratusan tahun yang terongok begitu saja di lahan terbuka. Salah satunya adalah situs Mangiran yang terletak di kawasan hutan jati yang dikelola PT Perhutani di Desa Mangirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun.

Petunjuk untuk mencapai lokasi benda peninggalan Kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya itu cukup mudah. Cukup menempuh perjalanan sekitar 45 menit untuk menemukan tempat penampungan kayu (TPK) Saradan yang terletak di jalur Caruban-Nganjuk. Tepat di pinggir jalan terdapat jalan selebar empat meter.

Jalur ini dulunya merupakan rute kereta pengangkut kayu peninggalan Belanda yang menjadi akses menuju lokasi situs. Sebelum sampai sana, ada sensasi saat melewati jembatan besi yang di bawahnya merupakan jalur kereta yang menghubungkan Madiun-Surabaya.

Ketika masuk area hutan jati, jalan hanya bisa digunakan untuk menyusuri menggunakan jalan setapak. Di situ, ditemukan jejak Pendopo Watu Gilang peninggalan Ki Ageng Mangir, yang dikenal sebagai orang yang berani melawan Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Hanya kawat berduri berbentuk segi empat sepanjang 5x10 meter yang dipasang untuk melindungi situs batu ini.

Kisahnya, meski tinggal di daerah Yogyakarta, Ki Ageng Mangir diperkirakan pernah menetap atau setidaknya mampir dalam jangka waktu tertentu di Saradan. Uniknya, sejak ditemukan hingga kini, situs berupa batu berbentuk melingkar yang dulunya digunakan Ki Ageng Mangir untuk beraudiensi dengan masyarakat masih utuh.

“Situs ini dijadikan tempat pertemuan agar pemimpin bisa dekat dengan rakyatnya,” kata juru pelestari Lambang. Dia memprediksi, melihat rangkaian situs yang tersebar di hutan, terdapat kehidupan warga pada abad ke-14 hingga 17 masehi dengan corak Hindu dan Islam.

Di luar Pendopo Watu Gilang, terdapat tumpukan batu yang diperkirakan peninggalan situs Kerajaan Majapahit. Situs ini terdiri, lingga, batu lumping, dan lesung yang fungsinya untuk menumbuk padi, umpak penyangga tiang rumah, batu bata berukuran besar berbentuk kotak dan bulat, dan berbagai ornamen pecahan arca dan puncak candi.

Lambang menjelaskan, semua artefak hanya ditaruh di papan terbuka, sehingga ada sebagian yang hilang dicuri orang. Dia tidak menemukan solusi untuk mengamankan berbagai situs bersejarah lantaran tidak ada tempat representatif untuk menyimpannya.

“Jumlah barang-barang kuno yang ditemukan bisa lebih banyak karena sebelumnya baru sebagian kecil wilayah hutan yang ditelusuri,” katanya.

Sekitar 200 meter ke arah barat dari Pendopo Watu Gilang, ada aliran sungai yang di sampingnya merupakan sumber mata air sendang yang merupakan salah satu petilasan Ki Ageng Mangir. Di kawasan yang masuk Dusun Pepe, Petak 19, Caruban itu, ada pemandian abadi berukuran 1,5x2 meter yang dibangun dari batu bata dengan kedalaman air tiga meter yang difungsikan sebagai tempat mandi khusus raja.

Berjarak setengah meter, sedikitnya ada tujuh buah sumur kecil berdiameter 50 cm yang hingga kini belum diketahui fungsinya. Ancaman nyata beberapa situs itu, kata Lambang, selain tidak terawat, juga kawasan itu masuk ke dalam area jalur pembangunan tol Solo-Kertosono.

Jika tidak ada intervensi dari Pemda, ditakutkan satu per satu situs peradaban Madiun kuno akan hilang. “Situs ini harus dilindungi bagaimana pun caranya,” kata Joko Widodo, salah satu juru pelestari lainnya. Dia sangat miris, karena perawatan situs hanya mengandalkan dana sumbangan dari pengunjung yang tidak seberapa.

Cagar budaya terancam

Nasib cagar budaya yang usianya lebih muda dan terletak di tengah kota nasibnya setali dengan situs era abad ke-16. Kawasan Pecinan yang dulu merupakan jantung ekonomi masyarakat dan dipenuhi bangunan kuno, hampir tidak berbekas lagi. Sepanjang jalan hampir satu kilometer, hanya terlihat berderet ruko. Yang terselamatkan hanya satu rumah berarsitek Tiongkok yang masih berdiri kokoh terimpit bangunan modern.

Kalau saja tidak teliti, bisa jadi tidak menemukan rumah kuno yang berusia seabad lebih ini. Pasalnya, gerbang rumah bercat hitam yang bertuliskan aksara Cina terbilang kecil sekitar empat meter. Pada era Orde Baru, atas perintah aparat tulisan di pintu gerbang dan pintu rumah ditutup. Perlu mengetukkan besi yang menempel di dinding pintu beberapa kali hingga penjaga datang.

Ditemani seorang penjaga rumah, seluk-beluk arsitek rumah mewah yang dimiliki marga Lee itu dapat ditelusuri. Dua kilin (patung singa) di kiri kanan jalan seolah ditempatkan pemilik rumah untuk menjaga tempat tinggalnya. “Usia kilin ini dikisaran 150 tahun, dan didatangkan dari daratan Cina langsung,” kata seorang penjaga yang enggan menyebut namanya itu.

Pandangan mata langsung tertuju pada dua tiang penyangga rumah di depan yang terbuat dari kayu jati berbentuk kotak. Mengacu diameter kayu seluas 30 cm dan tinggi hampir 4 meter, dapat diperkirakan usia kayu saat ditebang untuk dijadikan tiang penyangga rumah di atas 50 tahun, belum termasuk usia rumah.

Iseng-iseng mencoba meninju kayu yang diplitur warna hitam itu, dan terasa masih sangat kuat. Tidak ada satu pun sisi kayu jati yang termakan rayap. “Kira-kira kayu jati yang digunakan harganya sekitaran Rp 80 juta. Untuk mendapatkannya sekarang, setiap orang harus order dulu karena sudah susah ditemukan,” kata Koordinator Madiun Heritage Community Bernadi S Dangin.

Rumah bertingkat dua seluas 10x20 meter ini berdinding sangat tebal, dan temboknya tidak ada yang terlihat keropos. Bahkan, di sisi kiri dan kanan rumah, terdapat dua penyangga yang terbuat dari beton setebal satu meter agar dinding rumah tidak roboh. Secara keseluruhan, rumah ini relatif dalam kondisi bagus, meski hanya digunakan dalam pertemuan keluarga.

Menurut Bernadi, dari puluhan rumah di kawasan Pecinan, hanya tinggal satu rumah ini saja yang kondisinya relatif bagus dan terjaga. Lainnya sudah dihancurkan dan berdiri bangunan baru. Dia khawatir, cepat atau lambat rumah ini akan terkena seleksi alam mengikuti jejak rumah tetangganya.

“Sudah disarankan kepada pengelola rumah agar mendaftarkannya ke dalam cagar budaya, tapi mereka takut rumahnya malah diambil alih Pemda,” ujarnya.

Nasib serupa juga terlihat di rumah dinas Kapitan Cina di depan Alun-Alun Madiun. Kapitan Cina dulunya adalah kepanjangan tangan pemerintah Belanda yang bertugas untuk mengawasi dan menarik retribusi kepada setiap warga Cina yang berdagang di Madiun.

Meski secara fisik bagus, namun rumah bergaya Eropa abad renaissance yang memiliki tiga pintu depan ini terkesan kurang terawat. Terbukti, banyak rumput liar tumbuh di rumah yang dikuasai secara pribadi oleh keturunan Kapitan Cina itu.

Mengacu sejarah, kata Bernadi, Kapitan Cina memiliki kedudukan penting pada masa kolonial. Dia menunjukkan, jalur rel kereta api Madiun-Ponorogo yang berujung pada stasiun Madiun lama, dan saat memasuki pusat kota bercabang hingga berhenti di depan rumah Kapitan Cina.

Jalur kereta api Madiun-Ponorogo sejak era 80-an sudah tidak aktif, dan rel yang mengarah ke Alun-Alun Madiun tertutup proyek pelebaran jalan. “Kalau jalur rel berhenti di depan rumah Kapitan Cina, hal ini menandakan jabatannya sangat berpengaruh pada masa itu,” katanya.

Penelusuran jejak cagar budaya berlanjut ke Jalan Diponegoro yang dulu bernama Jalan Wilhelmina. Di kawasan ini, terdapat bangunan bersejarah bernama gedung Bosbow atau Boschbouw. Nama bangunan ini diambil dari bahasa Belanda, bosch berarti hutan atau kehutanan, dan bouw berarti gedung.

Pada era penjajahan, Bosbow merupakan sebuah sekolah kehutanan Madiun, cabang dari sekolah Kehutanan Bogor. Pendirinya adalah JH Becking, seorang pimpinan Jawatan Kehutanan pada 26 Agustus 1939.

Pendirian sekolah yang bernama Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) itu disebabkan Madiun dikenal sebagai sentra hutan produksi jati di Jawa Timur. Menurut Bernadi, melihat strukturnya, bangunan Bosbow hampir mirip dengan kompleks OSVIA di Serang.

Perbedaannya, Bosbow di Madiun yang dijadikan perumahan prajurit Komando Resort Militer (Korem) 081 Dhirotsaha Jaya kondisinya mengenaskan. Tugu di atas rumah sudah miring dan hampir ambruk. Kondisi cat dan atap rumah dibiarkan tidak terawat.

Adapun, nasib Bosbow di Serang sekarang justru lebih beruntung karena difungsikan sebagai markas Polres Serang. Sehingga, dua gedung bernilai arsitek tinggi peninggalan colonial Belanda itu memiliki nasib yang saling bertolak belakang. “Kondisi gedung di Madiun dan Serang sangat kontras sekali,” sesal Bernadi.

Dia menyatakan, seandainya Pemda memperhatikan kondisi bangunan cagar budaya, tentu bangunan Bosbow bisa dijadikan tempat wisata yang pasti menarik dijadikan tempat jujugan wisatawan. Bernadi ingin agar Bosbow dapat dilestarikan, dan bukan tidak mungkin dapat menjadi ikon bangunan bersejarah di Madiun.

Dia optimistis, Bosbow dapat mengikuti jejak Lawang Sewu di Semarang atau Museum Fatahilah di Jakarta, kalau dilestarikan dan diperhatikan kondisinya. Jika saja dirawat dan mengundang pengunjung dapat dipastikan bisa menggerakkan pariwisata lokal dan menambah pendapatan daerah.

“Semoga ke depan bangunan ini menjadi ikon kebanggaan Kota Madiun. Jangan sampai kita termasuk kelompok yang lupa dengan sejarah masa lalu,” katanya mengingatkan.

Wali Kota Madiun Bambang Irianto menjelaskan, mengapa Pemkot tidak membantu melestarikan beberapa cagar budaya di wilayahnya, termasuk Bosbow. Dia menyebut, beberapa bangunan bersejarah itu bukan merupakan kewenangannya. “Bukan aset Pemkot, Bosbow miliknya PT Perhutani,” kata Bambang.

Patung banteng terabaikan

Peristiwa pergolakan di Madiun pada 1965 membawa konsekuensi berubahnya tata kehidupan masyarakat setempat. Untuk memerangi gerakan kelompok kiri, pemerintah Orde Baru melakukan pembersihkan segala hal yang berwarna merah, yang menjadi simbol gerakan kaum buruh. Termasuk juga simbol-simbol perjuangan kaum buruh coba dienyahkan.

Salah satu peninggalan benda bersejarah yang coba disingkirkan, namun masih tetap ada adalah patung banteng ketaton. Pembuatnya adalah pematung Trijoto Abdullah pada 1947. Patung itu dianggap mencerminkan semangat warga Madiun yang dikenal sebagai the Flame of Java dalam menghadapi agresi militer Belanda I.

Pematung kelahiran Solo pada 1917 itu menempatkan karyanya di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Madiun yang berada di poros jalan utama Kota Madiun. Banteng yang terlihat sedang menunjukkan ekspresi marah itu digandengkan dengan patung seorang pejuang yang membawa bambu runcing. Di penyangga patung, diberi tulisan dengan semboyan ‘Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Poetoeng’

Namun karena dianggap sebagai ancaman penguasa, patung banteng dipindah ke kompleks Stadion Wilis, yang tidak termasuk jalur utama yang dilalui kendaraan. Sayangnya, kepindahan patung itu dilakukan secara asal-asalan. Kini, keberadaan patung pejuang yang mendampingi patung banteng sudah hilang tidak diketahui jejaknya.

Itu pun kondisi patung banteng yang ada seperti terabaikan. Tanduk dan buntut patung sudah rusak karena tangan jahil seseorang. Ketika itu, tanduk di sebelah kiri diberi tancaman botol minuman beralkohol. Posisi banteng juga berubah, tidak lagi menghadap ke jalan raya, melainkan ke samping.

Bernadi menjelaskan, perpindahan patung karya Trijoto Abdullah itu terkait erat dengan perubahan peta perpolitikan di Indonesia. Saat itu, karena pematung wanita pertama di Indonesia itu ditengarai memiliki kedekatan dengan kelompok kiri. Konsekuensinya, patung banteng juga dianggap simbol perlawanan terhadap pemerintahan yang baru. “Tapi, mengapa hingga kini patung berserajah ini tidak dirawat?”

Bernadi pantas geram terhadap Pemda yang tidak peduli dengan nasib benda cagar budaya di Madiun. Baik Pemkot maupun Pemkab Madiun, terkesan membiarkan keberadaan situs maupun bangunan bersejarah yang tersebar di eks Karesidenan Madiun. Dia tidak ingin masyarakat Madiun nantinya menjadi ahistoris dengan hilangnya berbagai situs dan cagar budaya.

Padahal, kata dia, sejarah Madiun dapat dilacak mulai pada era Kerajaan Majapahit, Kesultanan Mataram, hingga penjajahan Belanda, yang semuanya meninggalkan warisan yang patut dilindungi. keberadaannya. “Parahnya lagi, Kota dan Kabupaten Madiun tidak punya museum atau bangunan untuk menyimpan cagar budaya,” cetus Bernadi.

Wali Kota Madiun Bambang masih belum tergerak untuk melestarikan cagar budaya atau beberapa situs masa lalu. Karena itu, Bambang tidak berminat untuk jangka dekat ini mengalokasikan APBD untuk pembangunan museum. “Museum di Madiun mau diisi apa? Di sini minim benda-benda kuno,” kilah Bambang.

Penjelasan itu jelas bertolak belakang dengan pesan fenomenal yang pernah disampaikan Bung Karno. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement