REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat diminta mewaspadai hasil survei yang dilakukan beberapa lembaga jelang Pemilu 2014. Sebab, dari serangkaian survei tersebut mengarah pada upaya penggiringan opini publik.
"Ada semacam hegemoni opini bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang, dan figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," kata Pengamat politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara, di Jakarta, Selasa (24/12).
Ia mengatakan penggiringan opini publik terkait hasil survei bisa dilakukan mengingat adanya 'bandwagon effect' atau pilihan dan dukungan publik akan mengarah kepada figur-figur tertentu yang selalu menempati posisi nomor satu dari hasil-hasil survei terakhir.
Apalagi jika figur tersebut sampai disebut 'manusia setengah dewa', 'ratu adil' atau bahkan 'nabi'.
"Ada lembaga survei tertentu juga punya dua kaki. Kaki yang satu, untuk melakukan survei yang beneran, dan kaki yang lainnya adalah untuk pendampingan (konsultan) pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada lembaga-lembaga survei yang tidak mengedepankan independensinya," kata dosen FISIP Universitas Jayabaya itu.
Padahal, dalam pertarungan politik Pemilu 2014 lebih merupakan pertarungan antara para elite politik di belakang layar dibandingkan hasil survei semata.
Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elite-elite partai sering lebih menentukan setelah Pemilu Legislatif atau jelang Pemilu Presiden yang akan menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
"Para elite partai sangat mungkin meluaskan dukungannya seperti melalui praktik politik uang. Biasanya manuver elit politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannya," katanya menjelaskan.
Menurut Igor, tidak ada satu pun lembaga survei di dalam rilisnya yang mau mengungkapkan asal dana yang mereka gunakan untuk melaksanakan survei. Artinya, kata Igor, kurangnya tranparansi lembaga survei terkait penerimaan dana survei masih menjadi masalah utama dalam independensi hasil survei tersebut.
"Mereka biasanya berlindung dibalik prinsip anonimitas, di mana lembaga survei tidak bisa memberitahu kepada publik jika sang pemberi dana tidak mau disebutkan namanya. Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan pasiennya," ucapnya.