REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemendagri mengungkap berbagai masalah dalam pelaksanaan pilkada secara langsung sejak dimulai pada 2005. Salah satunya mengenai tingginya biaya politik.
Staf Ahli Mendagri Bidang Politik, Hukum, dan Hubungan Antarlembaga Reydonnyzar Moenek mengatakan, setidaknya ada lima pos pembiayaan bagi calon kepala daerah. Seperti biaya mahar partai politik untuk memberikan dukungan, dan biaya untuk menggerakan mesin partai, serta tim pemenangan.
Dengan biaya pengeluaran tinggi akan membuka kerawanan kepala daerah terpilih untuk membayar ongkos tersebut. "Kepala Daerah tersendera untuk mengembalikan modal politik," kata dia di Jakarta, Kamis (19/12).
Ia juga menyebut calon kepala daerah masih harus mengeluarkan biaya kampanye, kemudian membayar saksi di TPS pada saat pemilihan dan pemungutan suara. Belum lagi biaya yang dikeluarkan jika melakukan gugatan. Ini yang membuka potensi kepala daerah untuk terseret pada tindak pidana.
Berdasarkan data yang dihimpun kemendagri, ujarnya, sudah 312 kepala daerah dan wakil yang tersangkut masalah hukum sejak dilakukan pilkada secara langsung. Sebagian besar tersangkut tindak pidana korupsi. "Karena tersandera unttuk mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan," ujar dia.
Ia juga mengungkap masalah lainnya setelah mekanisme pemilihan dilakukan secara langsung. Yakni, semakin maraknya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sejak 2008 hingga September 2013 ada 638 gugatan sengketa pilkada. Belum lagi, gugatan di PTUN. "Ini juga pintu masuk tindak pidana korupsi, gratifikasi. Mahalnya harga sebuah kekuasaan," ujar dia.
Menurut Donny, selain memakan biaya tinggi, pilkada langsung juga marak politik uang. Politik uang sudah semakin menyebar tidak hanya terbatas pada elite politik, tetapi merambah ke masyarakat.
Bahkan, masyarakat sudah menganggapnya sebagai suatu kewajaran. "Ini telah mengalami dekadensi moral dan etika," kata dia.
Pilkada langsung, menurutnya, juga menunjukkan peningkatan kerawanan konflik. Selain itu, pelaksanaan pilkada langsung juga dapat membuat kejenuhan pada masyarakat. Karena masyarakat harus datang beberapa kali dalam pilkada. Sehingga bisa memengaruhi tingkat partisipasi pemilih.