Rabu 18 Dec 2013 11:04 WIB

Kriteria Calon Pemimpin Indonesia

KH Hasyim Muzadi
Foto: Republika/Fachrul Ratzi
KH Hasyim Muzadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Hasyim Muzadi

Dapatkah kita memagari para calon pemimpin nasional? Mungkinkah membuatkan kualifikasi tertentu untuk seseorang yang akan kita serahkan kepadanya amanah memimpin bangsa ke depan? Jawabannya, wajib.

Mengapa wajib? Karena, kita harus menemukan calon pemimpin yang tepat untuk urusan yang tidak mudah. Mengurusi bukan dalam artian membuat kurus, persoalan demikian berat yang melilit bangsa sejak beberapa dekade terakhir, bukan perkara mudah dan bukan urusan main-main.

Mendapat amanah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, meniscayakan munculnya figuritas yang lengkap agar urusan diemban dapat ditunaikan secara lengkap pula. Maka, pertama, seorang pemimpin harus melengkapi dirinya dengan sifat dan sikap jujur.

Kejujuran adalah sifat yang derajatnya amat agung, berada hanya satu maqam di bawah kenabian. Dalam beberapa ayat, Allah SWT menempatkan as-Shiddiqin di bawah an-Nabiyin. Misalnya, minan nabiyin was shiddiqin.

Firman lainnya berbunyi, “Ya ayyuhal ladzina amanuttaqullaha wa kunu ma'ash shadiqin. Hai orang-orang beriman. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS at-Taubah: 119).

Karena kejujurannya, Abu Bakar digelari as-Shiddiq yang juga bermakna membenarkan kerasulan Muhammad SAW. Para pemimpin dan calon pemimpin negeri ini tak bisa tidak kecuali mengambil sikap kepemimpinan para nabi dan rasul, khususnya Nabi Muhammaad SAW.

Ada empat, paling kurang, sifat-sifat mulia yang melekat pada diri seorang rasul. Satu di antara yang empat adalah shiddiq alias jujur.

Maka, seorang pemimpin sejatinya merupakan ahli waris kepemimpinan para nabi dan rasul ketika mereka menerima amanah dan tanggung jawab atas kehidupan umat manusia.

Sungguh merugi jika diberi kesempatan menentukan masa depan bangsa dalam urusan mencari calon pemimpin, tetapi abai hanya karena iming-iming janji tertentu. Kriteria utama haruslah jujur.

Sangat boleh jadi di antara para pemimpin kita ada yang berjuang untuk tetap berada dalam bingkai kejujuran. Tetapi, demikian Sahl bin Abdullah, “Awal pengkhianatan orang-orang jujur adalah munculnya keraguan dengan dirinya.

Sifat ragu adalah penyakit yang mendera begitu banyak pemimpin, terutama ketika ada urusan yang tersangkut paut dengan diri, keluarga, kelompok, kepentingan, dan ambisi-ambisinya yang terselubung. Pemimpin yang jujur adalah pemimpin yang terhindar dari sifat ragu demi kemaslahatan umat.

Kriteria kedua, seorang pemimpin dan calon pemimpin harus melengkapi dirinya dengan sifat mujahadah alias pekerja keras.

Ia haruslah seorang mujahid sejati di tengah-tengah bangsanya. Sampai sejauh ini, kita tengah berada dalam kegamangan yang akut karena tak terhitungnya persoalan yang mendera bangsa Indonesia.

Begitu berat dan banyaknya pekerjaan yang harus segera diselesaikan, sampai-sampai kita tidak begitu yakin apakah kekuatan yang tersedia cukup memadai untuk menyelesaikan ini semua.

Tanpa mujahadah dan kerja keras, seorang pemimpin hanya akan menambah panjangnya deretan masalah yang akan terus menumpuk.

Seorang pemimpin haruslah yang siap berkorban, memberikan segalanya, mewakafkan diri, dan seluruh kepentingan dirinya hanya untuk kebaikan umat.

Selama ini, kita hanya disodorkan para pemimpin yang sangat jauh dari kualifikasi sempurna. Mereka bersosok manusia yang apa-apa kurang dan berapa pun yang diterimanya kurang.

Bukannya memberikan segalanya, melainkan malah sebaliknya, mengambil semuanya dalam semua kesempatan yang dia punya. Cukuplah pengalaman selama ini bagi kita untuk tidak lagi terjebak dengan janji-janji para penjaja janji.

Manusia yang jujur dan penuh mujahadah hanya berjanji kepada Tuhan, bukan kepada sesama manusia. Para pemimpin adalah mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan keinginan-keinginannya, selesai dengan harapan-harapannya, selesai dengan terutama ambisi-ambisinya.

Pemimpin yang penuh mujahadah dijanjikan untuk memperoleh kesempatan musyahadah. Musyahadah bermakna janji persaksian antara seorang hamba dan Tuhannya. Adakah kenikmatan, ganjaran, dan imbalan sebaik persaksian dan pertemuan antara kekasih dan kekasihnya? Tak ada.

Maka, pemimpin adalah sekelompok orang yang jumlahnya sedikit, namun memperoleh kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan karunia musyahadah dibanding kelompok manusia lainnya.

Negeri kita dianugerahi Allah kenikmatan yang tiada tara. Jumlah penduduk yang besar, ketersediaan sumber daya alam yang luar biasa, letak geopolitik yang strategis, serta kelebihan-kelebihan lainnya, meniscayakan kita untuk mencari sosok pemimpin yang amanah.

Amanah dalam makna khusus, yakni keterpanggilannya untuk membela kepentingan bangsa, menjadi tujuan semua kebijakan-kebijakannya. Maka, kriteria ketiga calon pemimpin kita adalah dia yang jauh dari tanda-tanda seorang agen asing bagi bangsanya.

Meski seorang pemimpin dipersyaratkan mampu berkolaborasi dengan siapa saja, tak berarti dia boleh menjual bangsanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya kepada kekuatan asing.

Para anak negeri yang menjadi agen asing adalah pengejawantahan sempurna dari seorang pengkhianat. Tak ada ganjaran paling pantas bagi seorang pengkhianat, kecuali kerak terbawah di neraka, kelak di akhirat. Di dunia? Banyak negara menghadiahinya dengan hukuman yang amat berat.

Demi menjaga kekayaan negeri, demi terwariskannya mutu manikam kekayaan Ibu Pertiwi kepada anak cucu, demi kelangsungan untaian zamrud khatuslistiwa maka penting bagi kita untuk tidak memiliki pemimpin bertopeng ganda, siang laksana sanak malam setor muka kepada majikan asingnya.

Sungguh hina pemimpin semacam ini. Diamanahi malah berkhianat, manis di mulut tapi racun bagi kehidupan, berjanji tetapi mengingkarinya.

Inilah isyarat khianat yang sejati. Semoga kita dianugerahi Allah pemimpin yang sayang kepada kita dan taat kepada-Nya. Wallahu a’lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement