Rabu 18 Dec 2013 09:42 WIB

Penghulu Minta Aturan Baru

Rep: Amri Amrullah/Ani Nursalikah/ Red: Damanhuri Zuhri
Menikah.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menikah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

API mengusulkan biaya penghulu di luar jam kerja sedikitnya Rp 300 ribu.

JAKARTA – Pemerintah diharapkan membuat regulasi baru mengenai kerja penghulu sebelum 2014. Regulasi ini nantinya mengatur kerja di luar kantor urusan agama (KUA) dan jam kerja. Penghulu masih khawatir dikriminalisasi.

Imbalan dari pengantin yang menikah di luar jam kerja tetap dianggap gratifikasi. Padahal, penghulu mengeluarkan biaya untuk sampai ke lokasi. “Sekarang, bola ada di Kementerian Agama,” kata Ketua Forum Komunikasi KUA Jawa Timur Samsu Thohari, Senin (16/12).

Menurut dia, penghulu se-Jawa dan Madura sudah menyampaikan posisi dilematis itu ke Kementerian Agama. Saat konsultasi di DPR, Kemenag berjanji segera membicarakannya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Bappenas.

Samsu menegaskan, kalau regulasi baru tak terealisasi sebelum 2014, penghulu akan menolak melayani pencatatan nikah di luar KUA dan jam kerja. Ini berlaku per 1 Januari 2014. Seperti yang telah disepakati dalam pertemuan penghulu di Cirebon, belum lama ini.

Ia mengungkapkan, 80 persen penghulu sudah menyatakan penolakannya. Langkah tersebut akan diikuti sebagian penghulu di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta bila regulasi baru belum juga dibuat pemerintah.

Ketua KUA Ciganda Mekar, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Dedi Ahimsa mengatakan, ada dua opsi yang bisa dilakukan. Pertama, layanan di luar KUA dan jam kerja dinilai sebagai lembur. Opsi kedua, pemerintah menetapkan biaya operasional untuk penghulu.

Menurut dia, besaran ideal uang operasional penghulu di luar jam kerja adalah Rp 110 ribu hingga Rp 200 ribu per pekerjaan. Tapi, mungkin setiap daerah akan berbeda-beda. Bergantung dari medan yang dihadapi penghulu ke lokasi pernikahan di luar KUA dan jam kerja.

“Kondisi di setiap daerah berbeda, tetapi angka itu bisa jadi patokan,” kata Dedi. Ia mengatakan, selama ini penghulu di daerahnya memperoleh uang transportasi rata-rata Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Pernah juga ia mendapatkan Rp 100 ribu. Tapi, itu tak sering.

Padahal, uang yang didapat tak sepadan dengan tenaga, uang, waktu tempuh ke lokasi pernikahan. Suatu saat, Dedi pernah harus datang ke lokasi pernikahan yang relatif jauh. Ia menitipkan sepeda motor di sebuah balai desa.

Dari situ, ia mesti menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sebab, jalannya tak bisa dilalui kendaraan bermotor.

Karena itu, ia berharap, pemerintah dapat mengatasi persoalan ini. Sampai sekarang, jelas dia, belum ada payung hukum yang melindungi penghulu di luar jam kerja.

Saat bertemu Komisi VIII, menteri agama memang menyatakan, silakan saja terima imbalan dari pengantin.

Tapi, menurut Dedi, pernyataan tersebut bukanlah aturan hukum. Karena itu, para penghulu tetap berencana tak melayani nikah di luar jam kerja per Januari 2014.

Sementara, Ketua Asosiasi Penghulu Indonesia (API) Wagimun AW menyatakan, besaran ideal biaya bagi penghulu yang melayani pernikahan di luar KUA dan jam kerja berkisar Rp 300-500 ribu. Jika pemerintah tak mampu menyediakan, biaya itu bisa dibebankan ke masyarakat.

"Tapi, perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang jelas dan tidak bertentangan dengan peraturan KPK,” kata Wagimun.

Ia mengaku keberatan dengan permintaan KPK yang mengharuskan penghulu melapor jika menerima uang transportasi dari masyarakat.

Di daerah Jawa, pemberian uang transportasi paling besar Rp 50 ribu. Jika diharuskan melapor ke KPK, ia harus menanggung sendiri transportasi dan akomodasi ke Jakarta. Jumlahnya pun jauh lebih besar daripada uang transportasi yang ia terima.

Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat dalam waktu dekat bersama Bappenas dan Kementerian Keuangan akan membahas penyediaan dana bagi penghulu. Langkah ini untuk mengupayakan solusi permanen atas polemik pernikahan di luar KUA dan jam kerja.

Bahrul memperkirakan, pembahasan itu akan dilangsungkan di kantor Bappenas pada 18 Januari 2014. “Waktunya kan sudah dekat, cuma tahunnya berbeda,” katanya. Ia mengakui, dana operasional untuk penghulu sudah lama tidak ada.

Padahal, dari sisi geografis wilayah Indonesia, tantangan penghulu sungguh berat. Dana yang dibutuhkan untuk pembiayaan operasional penghulu mencapai Rp 600 miliar sudah lama diajukan. “Namun, Kementerian Keuangan tidak menyetujuinya.”

Kini, persoalan penghulu mencuat, pelayanan publik pun terganggu. Ia mengatakan, keadaan ini tak bisa dibiarkan.

Kemenag, Bappenas, dan Kementerian Keuangan harus duduk bersama. Ketiganya menentukan besarnya dana operasional penghulu di luar KUA dan jam kerja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement