REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyidikan kasus dugaan korupsi Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah sampai saat ini masih mandek di Kepolisian Daerah Bengkulu. Padahal, penyidikan kasus ini sudah berjalan sejak bulan Desember 2012. Koordinator Komite Independen Transparansi Anggaran Bengkulu (KITA), Zetriansyah kepada Republika mengungkapkan kasus yang melibatkan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah ini sangat sederhana dan transparan. “Dasar pengeluaran dana yang menyebabkan kerugian negara lebih dari 5,6 miliar rupiah tersebut akibat terbitnya Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor : Z 17. XXXVIII tahun 2011. Ini sesuai dengan hasil audit investigasi BPKP yang dikeluarkan pada tanggal 28 Maret 2013. Jadi apalagi yang ditunggu Polda sehingga sekarang, perjalanan kasus ini tidak jelas arahnya,” katanya.
Menurut Zetriansyah, kasus yang melibatkan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah ini bermula dari keluarnya SK Gubernur Junaidi Hamsyah pada 21 Februari 2011 mengenai Tim Pembina Manajemen RSUD dr M Yunus Bengkulu. Dalam SK tersebut diatur mengenai besaran jasa Tim Pembina Manajemen yang besarnya 0,75 perrsen dari pendapatan pelayanan dan perawatan kesehatan RSUD dr M Yunus Bengkulu.
Dari jumlah tersebut, Gubernur mendapatkan jatah 16 persen, sementara Wakil Gubernur mendapatkan bagian 13 persen. Sisanya, dibagi kepada sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Propinsi bengkulu yang berjumlah 18 orang. “Ini bagi-bagi duit pasien yang sedang sekarat di rumah sakit. Alangkah bejatnya mereka itu,” kata Zetriansyah.
Ia mengungkapkan SK Gubernur Bengkulu tersebut jelas-jelas melanggar peraturan diatasnya. Dimana dalam PP Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Permendagri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah.