Senin 16 Dec 2013 17:53 WIB

Mempermainkan Norma Agama

KH Didin Hafidhuddin
Foto: ROL/Sadly Rachman
KH Didin Hafidhuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Ada sebuah ungkapan yang sering tercatat dan terucap dalam pidato-pidato pemimpin dan pejabat pemerintahan di negara kita sejak dahulu sampai sekarang ketika menggambarkan bagaimana pentingnya peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yaitu, agama merupakan sumber etik, moral, dan spiritual pembangunan bangsa. Ungkapan yang tegas, lugas, dan tidak memerlukan penafsiran.

Akan tetapi, pernyataan resmi belum memberi pengaruh apa-apa jika tidak direalisasikan dalam bentuk keberpihakan institusi negara terhadap norma dan nilai-nilai agama itu sendiri sebagai ajaran Ilahi yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial.

Ironisnya, pengakuan agama sebagai sumber etik, moral, dan spiritual pembangunan bangsa sering kali bertolak belakang dengan kenyataan yang kita alami sehari-hari. Pekan Kondom Nasional (PKN) yang sangat menghebohkan adalah contoh ironisnya pernyataan dengan kebijakan.

Menurut Kementerian Kesehatan, kegiatan PKN ini digagas sebuah perusahaan swasta atas sepengetahuan KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia.

Rasa keagamaan dan perasaan moral kita sebagai bangsa yang beragama sangat terusik, sedih, prihatin, dan galau dengan kegiatan tersebut.

Kegiatan yang semula akan digelar selama sepekan 1-7 Desember 2013, selain diisi dengan penyuluhan tentang HIV/AIDS, sekaligus road show pembagian kondom gratis di tempat umum dan kampus perguruan tinggi.

Karena ditentang oleh banyak pihak, terutama para ulama, tokoh, pendidik, serta organisasi Islam di Tanah Air, Kementerian Kesehatan akhirnya membatalkan Pekan Kondom Nasional yang menuai kontroversi itu.

Jika direnungkan, sulit dipahami alasannya Pekan Kondom Nasional sebagai ajang kampanye untuk pencegahan bahaya HIV/AIDS akan mencapai hasil yang diharapkan.

Saat ini, moral dan akhlak generasi muda kita dilanda bahaya kemerosotan, antara lain, ditandai maraknya pergaulan bebas dan perzinaan (hubungan seks bebas) maka kampanye pemakaian kondom sangat kontraproduktif, bahkan mendorong kerusakan (mudharat) yang lebih besar. Ibarat mengobati penyakit dengan menimbulkan penyakit yang lebih berbahaya.

Berdasarkan laporan UNDP (United Nation Development), sebuah badan di bawah PBB, pada 2012, jumlah pelacur wanita di Indonesia sebanyak 324 ribu orang dengan rasio pelacur dan hidung belang 1:37.

Berarti, jumlah pelacur pria sebanyak 12 juta orang. Jika diasumsikan biaya pelacuran Rp 1 juta per orang per bulan, volume bisnis pelacuran bisa mencapai Rp 144 triliun per tahun, setara dengan membuat 31 jembatan Suramadu (Surabaya-Madura).

Karena itu, pencegahan HIV/AIDS melalui kampanye penggunaan kondom merupakan tindakan yang ceroboh, mempermainkan norma agama, dan melecehkan kesusilaan masyarakat.

Selain itu, jelas mengkhianati pengakuan tentang peran agama sebagai sumber etik, moral, dan spiritual pembangunan bangsa.    

Sementara itu, dalam beberapa pekan terakhir ini, masyarakat dibuat bingung dengan inkonsistensi kebijakan pimpinan Kepolisian Negara RI menyangkut kebebasan penggunaan jilbab bagi anggota polisi wanita (polwan).

Semula, karena desakan publik, kapolri mengizinkan penggunaan jilbab bagi anggota polwan, tapi belakangan diralat melalui telegram rahasia yang menganulir pernyataan kapolri.

Untuk sementara waktu, hingga peraturan kapolri (perkap) yang baru keluar, para anggota polwan diminta untuk tidak dulu mengenakan jilbab karena alasan teknis yang sebenarnya dapat diatasi para anggota polwan sendiri, yaitu belum adanya anggaran pengadaan seragam dan sebagainya.

Lebih tidak mengenakkan, pernyataan petinggi Polri yang seolah mempertentangkan kemerdekaan melaksanakan syariat agama dengan aturan formal yang berlaku di lingkungan institusi Polri, seperti komentar yang berbunyi, kalau mau berjilbab, jangan mendaftar jadi polwan.

Polemik jilbab anggota polwan mengingatkan kita kembali pada kontroversi pelarangan jilbab yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagi pelajar SMA sekitar akhir dekade 1980-an. Sejarah kembali berulang dengan aktor dan subjek yang berbeda.

Ketika citra Polri di mata masyarakat mengalami degradasi belakangan ini, seharusnya pimpinan Polri mendukung upaya memperkuat benteng pertahanan mental rohani anggota Polri, yaitu ketaatan menjalankan ajaran agama yang dianutnya.

Kesadaran mengenakan busana Muslimah bagi anggota polwan akan membuat anggota polwan lebih anggun, berwibawa, dan insya Allah akan memiliki rasa malu dan kontrol diri untuk menjauhi perbuatan tercela yang menodai profesi terhormat sebagai pelayan dan pelindung masyarakat.

Menggunakan jilbab di tempat kerja adalah hak asasi manusia dalam beragama yang tidak boleh dilarang atau dibatasi. Salah satu nilai ketakwaan kepada Allah SWT tecermin dari ketaatan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.    

Dua contoh kasus di atas menunjukkan pada kita peran agama dalam wilayah publik serta amar makruf nahi mungkar belum dipahami secara baik di semua lini penyelenggara negara. Dalam konteks bernegara, dasar negara Pancasila sering diletakkan dalam perspektif sekuler yang lepas dari perspektif agama.

Kita ingat almarhum Bung Hatta, tokoh proklamator kemerdekaan dan pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menegaskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan fundamen moral dan prinsip yang harus membimbing bagi cita-cita kenegaraan kita.

Namun, disayangkan, dalam praktik bernegara dan berpemerintahan, gagasan-gagasan besar dan mulia dari pendiri negara kita sering diabaikan dan ditinggalkan sehingga yang terjadi ialah sebagian pemimpin yang diberi amanah menyelenggarakan urusan pemerintahan tidak selalu berusaha melakukan amar makruf nahi mungkar.

Sebaliknya ada yang melakukan amar mungkar, nahi makruf (menyerukan atau memfasilitasi yang mungkar dan melarang atau menghalangi yang makruf) melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan, baik disadari maupun tidak.

Seorang Muslim dalam ajaran Islam dituntut untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan yang dilarang Allah SWT, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Sabda Rasulullah SAW dalam hadis yang sangat populer, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan kekuatannya atau dengan tangannya. Kalau dia tidak bisa dengan tangannya, hendaklah dia mengubahnya dengan lisannya. Jika dia tidak mampu mengubahnya dengan lisannya, hendaklah dia membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya.” (HR Muslim).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah mengingatkan betapa bencana menimpa umat apabila telah terjadi penjungkirbalikan nilai agama di mana muncul orang-orang yang menyeru kepada kemungkaran dan melarang mengikuti yang makruf.

Semoga kita termasuk kategori umat yang disebut dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 104, yaitu orang-orang yang terlibat aktif di dalam mengajak orang lain ke dalam Islam, menyeru pada kebaikan, dan mencegah dari keburukan. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan. Wallahu a’lam bis shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement