REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan, pemilih cenderung toleran dan menerima politik uang pada tahapan pemilu. Politik uang masih mempengaruhi politik elektoral dan menghasilkan relasi transaksional antara pemilih dan partai politik.
Direktur Eksekutif Indikator Burhanudin Muhtadi mengatakan, terlihat adanya perilaku pemilih terhadap politik uang. Ini didapat dari hasil jajak pendapat yang dilakukan dengan metode survei daerah pemilihan (dapil) dan digabungkan dengan survei nasional.
"Sebanyak 41,5 persen responden di 39 dapil menganggap money politic sebagai hal yang wajar. Ini berbahaya dan sudah di level warning," kata Burhanuddin di Jakarta, Kamis (12/12).
Memang, jumlah responden yang menganggap politik uang tidak bisa diterima lebih banyak, mencapai 57,9 persen. Namun, ia menilai, kewajaran terhadap politik uang memasuki level memprihatinkan.
Ketika ditanyakan kepada responden yang menjawab wajar, 55,7 persen di antaranya menyatakan akan menerima bila diberi uang atau barang. Tetapi mereka tetap memilih calon yang ditentukan sendiri sesuai hati nurani.
"Ibarat penipu kecil yang ingin menipu perampok besar. Mereka terima uangnya, tapi tetap pilih calon yang mereka sukai," jelasnya.
Pemilih yang akan menerima uang dan memilih calon yang memberi hanya sebanyak 28,7 persen. Sementara 10,3 persen akan menerima uang tetapi memilih calon yang memberi uang lebih banyak.
Dari sisi gender, menurut Burhanuddin, toleransi terhadap politik uang tidak terlalu terkait. Begitu pula dari sisi usia dan domisili. Meksi pemilih yang tinggal di desa sedikit lebih toleran dibanding pemilih perkotaan, perbedaannya tidak terlalu signifikan.
"Yang paling menarik, semakin rendah pendidikan dan pendapatan semakin tinggi toleransi terhadap politik uang," ujar Burhanuddin.
Hasil jajak pendapat di 39 dapil tersebut, ketika digabungkan dengan hasil survei nasional di 33 provinsi ternyata tidak jauh berbeda. Kecenderungan perilaku pemilih menunjukkan saat ditawarkan uang, sebanyak 41,7 persen memilih menerima. Sedangkan yang menolak berjumalh 54,3 persen.
Temuan menarik, hanya 16,8 persen responden yang mengaku pernah ditawari uang atau barang untuk memilih calon tertentu. Sementara 80,3 persen mengaku tidak pernah ditawari. "Artinya, semakin luas konstituen semakin sedikit politik uang yang terjadi," kata Burhanuddin.
Namun, pemilih yang mengaku pernah ditawari atau menyaksikan praktik transaksional terjadi di lingkungannya cenderung menerima politik uang. "Semakin sering ditawari uang, semakin toleran ia terhadap politik uang. Semakin sering ia melihat praktik politik uang, kecenderungannya untuk menerima semakin tinggi," ujar dia.