REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar hukum tata negara Universitas Diponegoro Semarang Fifiana Isnaeni menilai penerapan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bukan perkara yang mudah.
"Sistemnya sudah berbeda dengan dulu. Kalau mau menerapkan GBHN dengan MPR sebagai penyusunnya, harus mengamandemen UUD 1945 lagi," katanya di Semarang, Kamis (12/12).
Dulu, katanya, MPR merupakan lembaga tertinggi negara dengan salah satu tugasnya menyusun GBHN sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Setelah UUD 1945 diamandemen, kata dia, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Melainkan sudah sejajar dengan lembaga tinggi negara yang lain. Termasuk presiden dan tak lagi bertugas menyusun GBHN.
"Sekarang ini yang berlaku sistem perencanaan pembangunan nasional. Maksud materinya sama seperti GBHN, tetapi pembuat atau penyusunnya yang berbeda, yakni pemerintah, atau presiden," katanya.
Karenanya, kata dia, kalau mau menerapkan GBHN sebagaimana Orde Baru maka konsekuensinya tentu harus mengamandemen kembali UUD 1945. Sehingga, tugas MPR dikembalikan dalam menyusun GBHN.
Ia menjelaskan, meski telah sejajar dengan lembaga tinggi negara lain, termasuk presiden, namun MPR tetap memungkinkan menyusun GBHN. Karena anggotanya adalah perwakilan rakyat dan perwakilan wilayah.
"Tetapi, ya harus tetap mengamandemen lagi UUD 1945 untuk mengembalikan tugas MPR menyusun GBHN. Lain soal kalau hanya ganti baju dengan mengubah nama sistem perencanaan pembangunan nasional," katanya.
Namun, ujarnya, jika wacana pemberlakuan GBHN itu hanya dengan 'mengganti baju' sistem perencanaan pembangunan nasional, maka tidak perlu mengubah UUD 1945. Tetapi tidak akan ada perubahan yang berarti.
"Pertanyaannya, nanti yang membuat (GBHN-red)siapa? Lembaga mana? Kalau MPR yang membuat GBHN berarti ya harus mengamandemen lagi UUD 1945. Ya memang sistemnya sekarang sudah berbeda," katanya.