REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Daftar Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/CPI) 2013 yang dikeluarkan lembaga Transparency International (TI), skor untuk Indonesia berada di angka 32. Belum ada perkembangan yang berarti dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia berdasarkan indeks tersebut.
"Masih stagnant, sama dengan tahun lalu," papar pengamat ICW bidang peneliti korupsi politik, Donal Fariz, Senin (9/12) di kantor ICW Kalibata, Jakarta Selatan.
Perhitungan TI tersebut dihitung antara skor 0 sampai 100. Skor 0 berarti sektor publik sebuah negara dianggap sangat korup, dan 100 berarti dianggap sangat bersih. Kendati skor 32 tidak beranjak dari tahun lalu, peringkat Indonesia lumayan naik, dari 118 negara terkorup di dunia menjadi 114 di tahun 2013 ini.
Di hari Anti-Korupsi se-dunia pada 9 Desember, kasus-kasus korupsi yang ada belum tuntas. Sebanyak 40 koruptor yang masih buron, pengembalian uang negara hasil korupsi yang masih menunggak mencapai Rp 12,7 triliun, tersangka koruptor yang divonis bebas seperti Sudjiono Timan, hingga kasus ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mewarnai kasus korupsi di Tanah Air.
Menurut Donal, korupsi berhasil merengkuh semua kalangan. Tak peduli sealim dan sekuat apa pun mereka. "Bukti sekarang kita lihat, korupsi itu lintas usia." Inilah yang membuat perjuangan melawan korupsi semakin berat. Mereka yang dianggap bersih dahulunya, ternyata juga tersangkut kasus korupsi. Kelompok-kelompok yang dulu dinilai steril, ternyata bisa juga dirasuki kepentingan untuk memperkaya diri atau partainya.
"PKS secara kuantitas kader yang termasuk korupsi, termasuk sangat kecil (jika dibanding partai lain). Namun, Kasus LHI ini fenomenanya seperti gunung es," tutur Donal. Menurutnya, hampir seluruh partai melakukan hal yang sama. Teknisnya, jika partai kewalahan untuk memenuhi kebutuhan partainya, maka APBN dan APBD berpotensi untuk dijadikan sasaran sumber dana mereka.
Memasuki tahun 2014 yang disebut sebagai tahun politik, tentu potensi untuk mengakali APBN dan APBD itu semakin terbuka. "Tentu potensi korupsi sebagai modal politik akan semakin banyak. Anggaran pemilu 27 triliun patut dicurigai sebagai modal politik yang berpotensi disalahgunakan," ujarnya.