Senin 09 Dec 2013 16:06 WIB

Penghulu Diminta Laporkan Imbal Jasa Nikah ke KPK

Rep: Amri Amrullah/ Red: Dewi Mardiani
Ijab kabul dalam pernikahan (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Ijab kabul dalam pernikahan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Agama (Kemenag) mengimbau para penghulu melaporkan penerimaan imbal jasa nikah karena melayani pernikahan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) dan jam kerja ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Irjen Kemenag, M Jassin, melaporkan penerimaan imbal jasa nikah ini penting agar para penghulu tidak dianggap menerima gratifikasi nikah, seperti kasus yang terjadi pada Romli seorang penghulu di Kediri.

"Aturan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 12, maka pemberian itu masuk gratifikasi, karenanya untuk menghindari itu penghulu yang menerima cukup melaporkan ke KPK," ujar Jassin, Senin (9/12).

Dengan pelaporan tersebut ke KPK, lanjutnya, biar KPK yang menilai apakah itu bagian dari gratifikasi. Apabila tidak, maka itu menjadi hak dari penghulu. Namun, kata dia, yang penting adalah ada pelaporan ke KPK untuk memberikan rasa aman. "Asalkan yang dilaporkan sesuai dengan yang diterima dan tidak lebih dari 30 hari kerja dari sejak menerima."

Yang paling penting baginya, lanjut Jassin, yakni pemerintah harus memberi jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi aturan penerimaan ini. Karena seperti diketahui, biaya operasional pernikahan yang diatur hanya saat di KUA dan jam kerja. "Itu pun dengan besaran biaya Rp 30 ribu." Sedangkan di luar KUA dan jam kerja tidak diatur.

Karena itu, menurut Jassin, perlu ada niat baik dari pemerintah, memunculkan aturan baru terkait penerimaan ini agar masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Anggota Komisi VIII DPR, Achmad Rubaei, mendukung usulan Jassin. Menurutnya, pemerintah bersama DPR memang perlu memberikan solusi bijak kepada para penghulu yang memberikan pelayanan nikah di luar KUA dan jam kerja. "Penghulu ini harus dilindungi karena mereka berkerja untuk melayani negara dan agama," ujarnya.

Menurut Rubaei, budaya menikahkan di Indonesia adalah di hari libur dan di rumah pengantin. Karena itu, ia meminta perlu ada aturan khusus berbasis kultural bagi para penghulu yang menikahkan di luar KUA dan jam kerja. "Jangan sampai seperti kasus di Surabaya, penghulu akhirnya enggan menikahkan di luar KUA dan hari kerja, karena takut mendapatkan gratifikasi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement