REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Aini, Alicia Saqina
JAKARTA - Masyarakat yang memberi uang kepada pengemis harus bersiap mendapat sanksi baru. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberikan sanksi sosial bagi pemberi uang kepada pengemis jalanan. Memberi uang kepada pengemis merupakan pelanggaran ketertiban umum.
Sanksi sosial bertujuan untuk menimbulkan efek jera, di samping penerapan denda yang tinggi. “Kalau Anda ngasih uang ke pengemis, nanti kita tangkap, lalu kita suruh cuci WC di terminal. Bagus kan?” ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Jumat (29/11).
Meski demikian, niat pemprov untuk menerapkan sanksi sosial tersebut masih terkendala masalah payung hukum. Sebab, kata Basuki, hukum di Indonesia tidak mengenal sanksi sosial, hanya denda uang dan pidana.
Larangan memberi uang kepada pengemis terdapat dalam Pasal 40 Perda DKI Jakarta No 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Warga yang memberi uang bisa dikenai tindak pidana ringan (tipiring). Perda ini tidak mengatur adanya sanksi sosial untuk pelanggarnya.
Karena itu, kata dia, pemprov akan mendorong agar DPR segera merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan memasukkan kerja sosial sebagai sanksi. Menurut Ahok, sapaan akrab Basuki, sanksi kerja sosial bisa diterapkan untuk semua tipiring.
Tipiring itu mulai dari berjualan di trotoar, memberi uang kepada pengemis gelandangan, dan membuang sampah sembarangan. “Misal, buang sampah sembarangan bisa kena sanksi menyapu halaman Monas. Rasain tuh,” katanya.
Karena sanksi sosial perlu payung hukum, Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan denda tinggi bagi masyarakat yang masih memberi uang pada pengemis.
“Sekarang, kita orientasi pada denda. Karena, orang itu takutnya denda besar. Di Singapura juga begitu,” kata Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, kemarin.
Menurut Jokowi, denda tinggi tersebut bertujuan untuk menciptakan tertib hukum dan tertib sosial di masyarakat.
Sehingga, perlahan-lahan tertib hukum akan menjadi kebiasaan, bahkan gaya hidup masyarakat. Dalam perda dicantumkan denda mulai dari Rp 100 ribu hingga Rp 20 juta.
Wacana memperketat aturan bagi pengemis dan gelandangan muncul setelah seorang pengemis bernama Walang (54 tahun) ditangkap petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan di bawah fly over Tugu Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (26/11).
Walang ditangkap bersama rekannya, Saaran (60), yang berperan sebagai orang sakit dan tidur di gerobak.
Di gerobak itu, petugas menemukan uang tunai Rp 25 juta.
Walang mengatakan, Rp 21 juta di antaranya merupakan hasil jual beli kambing dan sapi di kampung asal mereka, Kelurahan Pasir Bungur, Kecamatan Purodadi, Subang, Jawa Barat. Uang dibawa ke Jakarta agar tak dicuri anak tirinya.
Daerah kewalahan
Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, kewalahan mengatasi gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di wilayah setempat.
Hal ini terjadi karena tidak adanya anggaran pembinaan dan payung hukum yang melarang masyarakat memberi pengemis.
Kepala Seksi Penegakan Peraturan Perundang-undangan Satuan Polisi Pamong Praja Sleman Rusdi Rais mengaku pihaknya sering melakukan operasi penertiban gelandangan dan pengemis.
Operasi tersebut menjaring hingga ratusan gelandangan dan pengemis. “Kami sering operasi, tetapi yang terjaring orangnya sama,” ujar Rusdi, Jumat (29/11).
Sejumlah lokasi di Sleman kerap menjadi tempat mangkal para gelandangan dan pengemis, di antaranya, di sekitar Candi Prambanan, perempatan Monjali, sekitar Terminal Jombor, dan Jalan Magelang.
Rusdi mengaku sudah bekerja sama dengan Dinas Sosial setempat untuk membina para gelandangan dan pengemis agar mendapat bekal keterampilan.
Wakil Wali Kota Bandung, Jawa Barat, Oded M Danial, mengatakan pihaknya kini tengah mempersiapkan tim penertiban khusus untuk membina para pengemis dan anjal di Kota Bandung.
“Kita sedang dan terus memperkuat tim penertiban bersama Muspida untuk merazia anjal dan pengemis,” ujar Oded, Jumat (29/11).
Ia menjelaskan, penguatan tim penertiban khusus tersebut merupakan gabungan tim dari Satuan Polisi Pamong Praja, TNI AD, dan Polri.
Oded menerangkan, pelaksanaan tugas tim gabungan khusus itu memang belum sepenuhnya berjalan optimal dan terdapat banyak kendala.
Saat akan disergap, tak jarang para pengemis dan anjal yang biasa berada di perempatan-perempatan jalan dan lampu merah, segera melesat melarikan diri.
Oded mengatakan, pihaknya memiliki program penempatan sejumlah petugas Satpol PP di perempatan lampu merah untuk mengurangi kehadiran pengemis.