REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tujuh tahun pascagempa Yogyakarta, masalah kredit macet korban gempa masih tersisa. Woro Sumiarsih (47 tahun) yang masuk dalam daftar korban gempa dituntut BPR Danagung Bakti untuk mengembalikan sisa kredit. Namun, perkara tersebut kemudian dicabut pihak BPR setelah didemo puluhan korban gempa lainnya.
Puluhan orang yang mengaku sebagai korban gempa Yogyakarta pada 2006 lalu mendatangi Pengadilan Negeri Sleman, Kamis (28/11). Mereka juga mendatangi kantor BPR Danagung Bakti di Jalan Ring Road Utara Yogyakarta untuk menuntut penghapusan kredit macet korban gempa.
Woro mengaku mendapat surat panggilan dari pengadilan Sleman pada pekan lalu untuk perkara kredit macet. Dia dituntut BPR Danagung Bakti untuk mengembalikan utang Rp 188 juta. Padahal, Woro mengatakan sisa pokok utangnya tinggal Rp 36 juta. Lantaran kasus itu, Woro harus mengikuti sidang pertama di pengadilan pada Kamis.
Kasus tersebut merupakan buntut dari kredit yang diambil Woro di BPR Danagung Bakti pada 2005. Dia mengagunkan tanah dan rumah dengan luas lahan 397 meter persegi. Namun, saat gempa 2006, kredit tersebut belum seluruhnya dilunasi dan tersisa Rp 36 juta.
Wanita yang memiliki usaha mebel tersebut mengaku masuk dalam daftar korban gempa yang ditetapkan pada 10 Februari 2010. Berdasarkan keputusan pemerintah pusat, kredit korban gempa yang masuk dalam daftar telah disepakati untuk dihapusbukukan dari bank.
Ketua Komunitas UMKM Yogyakarta, Prasetyo Atmosutidjo, mengatakan nilai kredit macet korban gempa yang dihapusbukukan mencapai Rp 75,9 miliar dari 3.234 nasabah di 35 BPR di Yogyakarta. Dari jumlah itu, kredit macet senilai Rp 7,5 miliar dari 2.862 nasabah telah diselesaikan dengan dana Pemerintah Daerah DIY.
Kasus Woro juga berakhir dengan pencabutan kasus oleh pihak BPR Danagung Bakti. Sidang pertama yang dijadwalkan pun tidak jadi digelar. Pihak BPR Danagung Bakti sendiri belum bisa dikonfirmasi.