REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Subroto
Ningsih (22 tahun, bukan nama sebenarnya) tak pernah menduga jika suaminya mengidap AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Dia baru tahu suaminya mengidap sindrom yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu, beberapa bulan menjelang meninggal dunia.
“Dia sakit berbulan-bulan sampai meninggal,” cerita Ningsih.
Tak hanya suaminya yang mengidap AIDS, Ningsih pun ternyata tertular. Dan yang lebih menyedihkan lagi, bayi yang dilahirkannya pun terjangkit HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus yang menyebabkan AIDS.
“Lengkap sudah penderitaan saya,” kata perempuan yang tinggal di Kampung Melayu, Jakarta Timur itu.
Ningsih kini menjalani pengobatan AIDS dengan mengonsumsi obat antiretroviral (ARV). Begitupun bayinya yang kini berumur satu tahun.
Saat pertama tahu dirinya tertular AIDS, Ningsih tak segera memeriksakan kandungannya. “Saya tidak tahu kalau bayi bisa tertular dari ibunya,” akunya.
Kini bayi-bayi yang mengidap HIV dan AIDS seperti puteri Ningsih, di Jakarta makin banyak.Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, data dari
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyebutkan sedikitnya 300 balita di Ibukota yang terinfeksi virus HIV dan AIDS.
“Balita yang terinfeksi virus ini, rata-rata berusia satu hingga lima tahun. Mereka tertular virus mematikan itu saat mereka masih dalam kandungan," kata Arist beberapa waktu lalu.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emmawati mengatakan, jumlah pengidap HIV dan AIDS di Jakarta masih tinggi. Angkanya terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2012, ada 20.775 kasus HIV dan 5.118 kasus AIDS. Satu tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 24.807 kasus HIV dan 6.973 kasus AIDS.
“Penularan HIV paling banyak ditemukan melalui hubungan seksual. Kebiasaan ganti pasangan sangat berisiko tertular HIV. Penularan HIV juga banyak terjadi melalui kebiasaan menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, khususnya bagi para pemakai narkoba,” katanya.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Rohana Manggala mengatakan ada lima profesi yang rawan terkena HIV dan AIDS yaitu karyawan, ibu rumah tangga, wiraswasta, buruh, dan pelajar. Data pada tahun 2012 menunjukkan usia yang rawan terbanyak pada masa usia subur 25 sampai 44 tahun yakni sebanyak 83 persen.Dengan makin banyaknya pengidap berusia subur ini maka potensi bayi yang lahir dengan HIV makin besar.
Saat awal epidemi AIDS merebak, orang masih banyak orang beranggapan bahwa sindrom tersebut ada lah milik mereka yang memang paling berisiko, seperti homoseksual dan pekerja seks komersial (PSK). Sejak kasus pertama AIDS ditemukan di Indonesia pada 1987 sampai 1997, peningkatan infeksi masih berjalan lambat. Barulah pada pertengahan 1990-an terjadi peningkatan tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun). Mulai tahun 2006, terjadi perubahan dalam perkembangan cara penularan. Data pada KPAN menyebutkan, pada Juni 2006 54,4 persen kasus AIDS terjadi di kalangan penasun.
Namun, pada bulan yang sama tahun 2011, angka tersebut turun menjadi 16,3 persen. Sebaliknya, penularan heteroseksual meningkat dari 38,5 persen menjadi 76,3 persen. Akibatnya adalah makin meningkatnya jumlah perempuan dan bayi yang dilaporkan sebagai kasus AIDS baru. Pada Juni 2006, persentase kasus AIDS baru pada perempuan adalah 16,9 persen.
Pada 2011 menjadi 35,1 persen. Sedangkan, penularan perinatal (dari ibu ke bayi) meningkat dari 2,16 persen menjadi 4,7 persen.
Di Jakarta, peningkatan bayi pengidap HIV dan AIDS ini tampak di RSCM. Sejak tahun 2007 hingga 2009, terdapat sebanyak 224 kasus pasangan bersama bayinya yang terkena HIV. Dari jumlah itu, sebanyak 70-80 persen merupakan perempuan penderita HIV dengan risiko rendah. Artinya, mereka bukan merupakan pengguna narkoba atau heteroseksual. Mereka adalah ibu rumah tangga biasa. Data-data itu jelas menunjukkan bahwa HIV/AIDS kini bukan hanya merebak di kalangan homoseks, pe kerja seksual, atau pengguna narkoba. Epidemi itu sudah jauh masuk ke dalam rumah tangga, mengancam ibuibu dan bayi-bayi yang dilahirkannya.
Efek HIV pada bayi lebih berbahaya dibandingkan jika hinggap pada orang dewasa. Bayi pengidap HIV rentan sakit. Jika sakit membutuhkan waktu yang lama untuk penyembuhannya. Banyak kasus HIV pada bayi berakhir dengan kematian saat mereka masuk pada fase AIDS.
Bayi mengidap HIV karena tertular oleh ibunya. Sang ibu mungkin tertular dari suaminya atau sebelumnya memang sudah positif. Sebenarnya, seorang ibu pengidap HIV/AIDS tidak otomatis melahirkan anak yang juga positif. Penularan HIV dari ibu dapat terjadi selama masa kehamil an, selama proses persalinan, atau setelah kelahiran melalui ASI.
Penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil HIV positif berisiko menularkan virus kepada bayi yang dikandungnya sekitar 35 persen. Risiko tersebut terdiri dari risiko selama kehamilan 7 persen, pada waktu pendarahan saat persalinan (per vaginam) 15 persen, serta dari air susu ibu 13 persen.
Menurut Prof Dr dr Samsuridjal Djauzi dariKelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, penularan HIV dari ibu hamil ke bayi sebenarnya dapat dicegah. Yakni dengan dapat tiga cara, ibu hamil harus minum obat ARV, menjalani proses persalinan melalui operasi caesar, dan pemberian susu buatan.
“Kalau ketiga hal itu dilakukan, mungkin risiko yang tadinya 35 persen bisa tinggal hanya 1 persen saja. Jadi hampir dipastikan bayi tidak tertular,” katanya.
Sejak kombinasi obat anti-HIV yang disebut ARV ditemukan, angka kesakitan dan kematian menurun drastis. Mereka yang terinfeksi HIV membaik kualitas hidupnya karena tetap sehat dan yang lebih penting lagi adalah ARV signifikan menurunkan penularan.
Pengalaman beberapa negara menunjukkan, semakin banyak yang tercakup dalam uji HIV, semakin banyak pula yang bisa segera diobati. Dalam Konferensi AIDS Internasional XIX tahun 2012 di Washington DC, Amerika Serikat, laporan beberapa negara menunjukkan bahwa pengobatan dini menekan penularan hingga 96 persen.
Menurut Zubairi Djoerban, Guru Besar Penyakit Dalam, Hematologi, dan Onkologi Medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mereka yang minum ARV di Indonesia banyak yang tetap sehat hingga 10 tahun. ”Bahkan, ada yang telah 18 tahun tetap aktif dan produktif,” kata Ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia ini.
Di seluruh dunia, lebih dari 350 ribu bayi terselamatkan dari penularan sepanjang tahun 2005-2010. Sekitar 700 ribu orang selamat dari kematian tahun 2010. Total yang meminum ARV dari beberapa negara saat ini sekitar 6,65 juta orang.
Penularan HIV dari ibu dapat dicegah melalui program “Preventing Mo ther To Child Transmision” (PMTCT). Program ini berupaya mencegah agar pasangan suami istri berperilaku seks tidak aman. Kalau sudah positif, dia harus mencegah kehamilan atau merencanakan kehamilannya. Tapi, kalau tetap hamil dengan mengonsumsi obat antriretroviral. Ketika dikombinasikan dengan dukungan dan konseling makanan bayi serta penggunaan metode pemberian makanan yang lebih aman, pengobatan ini dapat mengurangi risiko infeksi anak hingga setengahnya.
Yang terjadi dalam banyak kasus, jangankan mengakses PMTCT atau mencegah penularan dari ibu ke bayi, mengetahui tanda-tanda positif HIV dan AIDS saja banyak perempuan yang tidak tahu.
Upaya mencegah banyaknya bayi terkena HIV harus di mulai dengan mencegah perempuan tertular HIV/AIDS. Karena semakin banyak jumlah perempuan yang terkena AIDS maka otomatis semakin banyak bayi yang bakal tertular HIV.
Selama ini, program pencegahan HIVdan AIDS masih banyak diarahkan kepada penasun, pekerja seks, homoseksual, dan mereka yang yang berperilaku beresiko tertular HIV dan AIDS saja. Sudah saatnya pemerintah dan kalangan LSM yang bergerak di bidang HIV dan AIDS memberikan perhatian yang lebih besar dalam program pencegahan perempuan, khususnya ibu yang tertular HIV dan AIDS. Saatnya menyelamatkan bayi-bayi di Jakarta dari HIV dan AIDS.