REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Pemerintah yang ngotot meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) mengundang pertanyaan.
Padahal pelaku industri rokok dan petani tembakau di daerah menolak akses FCTC.
Belum lagi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga melakukan hal yang sama.
Anggota Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan IX DPR, Poempida Hidayatulloh menegaskan Pemerintah semakin tidak punya hati, dan jelas tidak propekerja atau buruh.
"Ya memang pemerintah semakin tidak punya hati, dan jelas tidak pro terhadap pekerja/ buruh,' katanya menegaskan di Gedung DPR, Rabu (13/11).
Ia menambahkan, data BPS mengatakan penurunan jumlah angkatan kerja sebanyak 3 juta orang dari Februari 2013 ke November 2013. Data tersebut sangat mengkhawatirkan.
"Industri rokok/ tembakau yang jelas menyerap tenaga kerja saja kok malah mau diganggu?," katanya menanyakan.
Ia mempertanyakan untungnya meratifikasi FCTC. "Apa sih untungnya meratifikasi FCTC? Kok kita ini terkesan di-'setir' oleh dunia luar? Padahal kita ini kan negara berdaulat," cetusnya.
Poempida mengatakan, industri rokok/ tembakau di Indonesia ini unik. Oleh sebab itu, ia meminta harus ada cara khusus untuk menanganinya.
Ia juga meminta pemerintah tidak mengadopsi kebijakan global. Padahal, kebijakan global itu mungkin tidak cocok untuk Indonesia.
"Jangan kita terjebak oleh permainan asing. Kita sudah pernah dirugikan dengan mengikuti IMF. Semua negara yang tidak ikut IMF malah bangkit dan selamat. Masa kebodohan harus diulangi lagi?," katanya menerangkan.
Politikus Partai Golkar ini menilai, roadmap industri rokok/ tembakau Indonesia harus ditata rapi terebih dahulu. Setelah itu baru mengadaptasi kebijakan FCTC, sebab secara logika seperti.
"Ini yang terjadi adalah mau mengadaptasi kebijakan asing, sama sekali tidak ada persiapan dalam penanggulangan dampak-dampak yang akan terjadi," katanya menegaskan.