REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada atau PSP-UGM Sudjito mengatakan 40 persen pasal-pasal dalam UUD 1945 inkonsisten dan tidak mengacu kepada Pancasila.
"Hasil amandemen keempat UUD 1945 sejumlah pasal tidak sesuai dengan norma-norma Pancasila," kata Sudjito di Universitas Pancasila, Ahad (10/11).
Ia mencontohkan pada pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang berbeda dengan ayat 1,2 dan 3. Pada ayat 1,2, dan 3 ekonomi kekeluargaan atau koperasi tapi ternyata (ayat 4-red) ekonomi kapitalis atau menekankan perusahaan harus mempunyai daya saing.
"Ini yang disebut gap atau jarak, karena jika merujuk pada roh dari pasal tersebut tidak sesuai," kata Sudjito.
Sudjito mencontohkan hal yang lain dalam hal demokrasi juga terdapat inkonsisten terhadap Pancasila. Dalam prakteknya politik Indonesia saat ini cenderung mengarah kepolitik liberal.
Praktek politik liberal tersebut katanya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Padahal sesuai dengan sila keempat Pancasila maka yang perlu dilakukan dalam berpolitik adalah musyrawarah untuk mufakat.
"Ini sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila," katanya.
Selain itu kata dia pembuatan Perda-perda diberbagai daerah juga banyak dilakukan yang hanya berpikiran semakin banyak aturan semakin baik dan pembuatan perda dimanfaatkan hanya untuk mencari keuntungan semata.
"Hukumnya sedikit tapi berkualitas dan penyelenggaranya beretika dengan baik," ujarnya.
Tetapi lanjut Sudjito hal ini tidak dapat disalahkan karena dalam undang-undangnya diperbolehkan. "Saya hanya menyayangkan hilangnya nilai-nilai semangat Pancasila," jelasnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila (PSP-UP) Yudi Latif menjelaskan pada pasal 37 UUD 1945 disebutkan mengenai NKRI dan menjadi satu-satunya pasal yang tidak boleh diamandemenkan.
Namun pada kenyataannya penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pada praktek merujuk pada sistem feodal, karena pemberian otonomi daerah hingga pada tingkat kabupaten.
Lebih lanjut ia mengatakan kedudukan MPR saat ini memang masih ada dalam struktur tetapi fungsi dan kewenangannya telah berubah. MPR hanya sebagai lembaga tinggi negara bukan lagi lembaga tertinggi negara.
Selain itu kata dia saat ini tidak ada lagi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang digantikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Padahal GBHN disusun dengan melibatkan seluruh elemen bangsa sesuai dengan semangat Pancasila.
"RPJP yang hanya disusun oleh DPR sehingga yang menentukan kebijakan dasar adalah DPR. Sedangkan GBHN disusun dengan melibatkan seluruh elemen bangsa, buka hanya perwakilan partai saja," jelasnya.