REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah menilai gelar pahlawan layak diberikan untuk mereka yang melakukan perlawanan terhadap korupsi.
"Musuh bersama kita saat ini adalah korupsi dan koruptor tidak memiliki rasa nasionalisme. Kalau mau disebut pahlawan harus melawan dan memberantas korupsi," kata Kepala Divisi Monitoring Kinerja Aparat Penegak Hukum KP2KKN Jateng Eko Haryanto di Semarang, Sabtu.
Upaya memberantas korupsi, katanya, tidak harus dengan menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, polisi, jaksa, atau menjadi aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau 'non-government organization' (NGO).
Ia mengemukakan untuk memberantas korupsi dapat dilakukan oleh semua orang apa pun profesinya dan dapat dimulai dari keluarganya dengan mewujudkan keluarga sehat melalui keluarga antikorupsi.
Menurut Eko, koruptor dengan teroris memiliki kesamaan, yakni melakukan kejahatan terhadap manusia. Jika koruptor merongrong dari dalam, sedangkan teroris dari luar.
"Pemberantasan korupsi di Indonesia mulai terlihat tahun 1950 sejak zaman ayahnya Prabowo Subianto, Soemitro Djojohadikoesoemo yang menjadi menteri dan melakukan pemberantasan korupsi di sektor bea cukai," katanya.
Terkait dengan pemberian gelar untuk mantan Presiden Soeharto, KP2KKN menyatakan Soeharto tidak pantas menerimanya.
"Soeharto tidak pantas menjadi pahlawan karena dia pernah menyebabkan negara ini menjadi terpuruk dengan merampas hak rakyat," katanya.
Sebanyak tiga tokoh yang telah ditetapkan mendapatkan gelar pahlawan nasional oleh pemerintah, yakni Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat dari Yogjakarta, Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara, dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang dari Sumatera Utara.