Ahad 03 Nov 2013 13:14 WIB

Pemprov Masih Gogok UMP Lampung

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Djibril Muhammad
Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memadati Jl MH Thamrin, Jakarta, Kamis (5/9). Mereka berunjukrasa menuntut kenaikan upah minimum provinsi 2014.
Foto: (ANTARA News/Fianda Sjofjan)
Ribuan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memadati Jl MH Thamrin, Jakarta, Kamis (5/9). Mereka berunjukrasa menuntut kenaikan upah minimum provinsi 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Pemerintah provinsi Lampung bersama pihak terkait masih menggodok besaran angka upa minimum provinsi (UMP) untuk wilayah Lampung, hingga Ahad (3/11).

Diperkirakan, besaran angka kebutuhan hidup layak (KHL) provinsi ujung selatan Sumatra ini berkisar Rp 1,4 juta hingga Rp 1,7 juta per bulan.

 

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Lampung, Heri Suliyanto, mengatakan pada awal November ini unsur dewan pengupahan provinsi (DPP) masih mematangkan hasil survei angka KHL, yang akan menjadi acuan penentuan UMP.

"Awal November ini, survei selesai dan segera dirapatkan unsur tripartit," katanya.

 

Ia menerangkan sampai saat ini angka KHL untuk Lampung yang terendah Rp1,4 juta dan tertinggi Rp1,7 juta. Menurut dia, penetapan besaran angka UMP bukan dilakukan Disnakertrans, tetapi harus melalui tahapan rapat yang diikuti unsur Apindo, serikat buruh, dan perwakilan dari pemprov.

 

Mengenai tuntutan para buruh di Lampung, yang melanjutkan aksi turun ke jalan beberapa waktu lalu, Heri menambahkan pihaknya menerima aspirasi dari para buruh untuk meingkatkan taraf hidup buruh dan keluarganya. Tuntutan para buruh yakni upah layak nasional Rp 3,7 juta per bulan.

"Kami akan lanjutkan ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi," katanya.

 

Koordinator Gerakan Rakyat Lampung, yang berisi dari belasan elemen buruh, Deni Kurniawan, mengatakan upah layak nasional Rp 3,7 juta per bulan, angka tersebut dianggap sebagai upah layak berdasarkan hasil riset guru honorer, dosen, dan mahasiswa.

Upah yang ditetapkan pemerintah masih jauh dari kebutuhan, ditambah lagi naiknya bahan bakar minyak dan bahan pokok rumah tangga, "Kami minta pemprov memperjuangkan agar upah kami sesuai hidup layak,” kata Deni menegaskan.

GRL juga mendesak Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2013 dihapuskan. Inpres tersebut menerangkan kenaikan upah maksimal 20 persen, karena sudah tiak sesuai dengan laju kenaikan inflasi sebesar 30 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement