Selasa 29 Oct 2013 21:25 WIB

Ryaas: Pilkada Langsung Hambat Sasaran Otonomi Daerah

Ryaas Rasyid
Ryaas Rasyid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid mengatakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung telah menghambat pencapaian desentralisasi yang ditujukan untuk pencapaian keadilan dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

"Pelaksanaan pilkada langsung yang mengacu pada Undang-Undang 32/2004 tentang calon pemimpin dinyatakan memenangi pilkada jika mendapat suara lebih dari 30 persen menyebabkan kurangnya legitimasi," kata Ryaas dalam diskusi 'Otonomi Daerah, Pilkada dan Tantangan dalam Membangun Pemerintahan yang Baik', di Jakarta, Selasa (29/10).

"Bahkan itu menunjukkan kurangnya legitimasi buat pemenang dari rakyat. Seharusnya sama dengan DKI Jakarta yakni 50 persen plus satu," katanya menambahkan.

Selain mekanisme pilkada langsung tersebut, unsur primordialisme tentang kedekatan pemilih dengan calon pemimpin sangat kuat dan menyebabkan degradasi akan transparansi pemerintahan dan birokrasi.

"Pemimpin yang terpilih akan memilih yang mendukungnya saja. Maka dari itu lahirlan pemerintahan yang tidak efisien, efektif dan tepat," ujarnya.

Pilkada langsung, kata Ryaas juga melahirkan banyak peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan. Posisi lembaga penyelenggara Pemilu, dalam hal ini juga menjadi sangat rentan disuap oleh partisipan Pemilu.

"Jika korupsi dari hal ini terus membengkak bagaimana tujuan pencapaian kesejahteraan dan keadilan bisa tercapai," katanya.

Ryaas mengatakan tujuan pemberlakuan otonomi daerah untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat di daerah masih sulit dicapai. Selain karena pilkada langsung, Ryaas menilai hal yang paling fundamental adalah implementasi otonomi tanpa pengawasan yang maksimal.

Namun, terlepas dari dampak negatif pemberlakuan otonomi daerah. Ryaas mengingatkan bahwa resentralisasi atau kembali kepada sentralisasi yang semuanya bersumber dari pemerintah pusat bukanlah jalan yang baik.

Ryaas mengatakan korupsi pada era sentralisasi lebih masif dibanding era otonomi daerah. "Namun pada sentralisasi belum lahir KPK dan tidak ada kebebasan pers. Jadi pungutan dari pusat ke daerah tidak da yang berani mengusut," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement