Senin 28 Oct 2013 12:51 WIB

DKI Jakarta Berpatokan Pada KHL Dalam Penentuan UMP

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thajaja Purnama (Ahok)
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thajaja Purnama (Ahok)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan pihaknya berpatokan pada kebutuhan hidup layak dalam menentukan upah minimum provinsi DKI 2014. "Hasil survei komponen hidup layak 2014 lonjakannya sedikit yaitu sekitar Rp 2,3 juta dibandingkan dengan KHL yang dulu sebesar Rp 2,2 juta," kata Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, Senin (28/10).

Menurut dia, pihaknya fokus terlebih dulu pada komponen hidup layak, sedangkan untuk upah minimum provinsi harus disesuaikan dengan inflasi maupun pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Sekarang terjadi perselisihan mengenai menentukan bus, kalau menggunakan Transjakarta anda akan rugi karena pulang pergi hanya Rp 7.000. Anda harus gunakan Kopaja yang AC Rp 6.000, jadi bolak-balik Rp 12 ribu, dulu pengusaha masih mau Rp 12.500," kata dia.

Ia mengatakan saat ini sebagian buruh menuntut kenaikan upah minimum sebesar 50 persen secara nasional karena dulu naik 45 persen. "Saya bilang itu ada faktor berbeda karena 2007 putusan KHL dibandingkan survei selalu di bawah, jadi bayangkan 2007-2012 itu ada 5 tahun buruh selalu diberikan KHL yang di bawah dari survei. Nah ini khan tidak pantas, otomatis karena mengoreksi lima tahun, itu yang mengakibatkan KHL atau UMP melonjak sampai Rp 700 ribu, karena bukan berarti mau melonjak seperti itu, tapi karena KHL-nya, tapi untuk KHL tahun ini lonjakannya sedikit, KHL dulu kan Rp 1,9 sekarang Rp 2,3 juta," paparnya.

Terkait kenaikan KHL Rp 2,7 juta atau Rp 3 juta, ia mencontohkan buruh mengambil komponen sewa rumah yang tertinggi yaitu Rp 850 ribu. "Yah pengusaha tidak mau dong karena pengusaha itu Rp 500 ribu atau Rp 650 ribu, lalu misalnya contoh untuk pembelian barang bajunya mesti merek apa, celana dalam merek apa, gosokan merek apa, ini kan tentu berbeda nilainya, buruh menuntut itu, saya kira kami sudah menentukan, yang penting patokan itu KHL," kata dia.

Terkait permintaan buruh yang mengubah 84 item komponen hidup layak yang sebelumnya hanya 60 item, ia mengatakan hal tersebut harus dilihat dari produktivitas pekerja. "Kalau naikkan 84 komponen itu harus dilihat produktivitas juga, kalau tidak perusahaan mem-PHK para karyawannya nanti, jadi harus mencari keseimbangan masalah ini tidak mungkin selesai, tapi yang penting patokan rumusnya sudah ada yaitu KHL," ujar dia.

Diakui dia, kenaikan Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu untuk buruh sangat berarti. "Tapi kami juga menjaga jangan sampai daya saing usaha kita jatuh, makanya tugas pemerintah untuk menyediakan transportasi murah, perumahan murah, sembako yang terkontrol yang murah, nah itu yang mau kami lakukan termasuk jaminan kesehatan, kalau itu kami tidak bantu dunia usaha juga akan ambruk sehingga pengangguran akan banyak, nah ini yang menjadi keseimbangan. Jadi bagaimana caranya ada kerja sama antara pemerintah, buruh serta swasta," tuturnya.

Ia mengungkapkan ketidaksetujuannya kalau ada perusahaan yang memberi upah kepada karyawannya di bawah KHL. "Ada pengusaha yang mengatakan kami tidak sanggup menggaji orang sesuai dengan KHL, kalau begitu anda harus pindah ke lokasi yang KHL-nya rendah, gitu loh," ujar dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement