Sabtu 26 Oct 2013 22:33 WIB

Konflik DPT Dianggap Karena Parpol Masih Trauma

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
 Peserta mengabadikan gambar saat Daftar Pemilih Tetap (DPT) diperlihatkan saat Rapat Pleno Terbuka di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (23/10).     (Republika/ Tahta Aidilla)
Peserta mengabadikan gambar saat Daftar Pemilih Tetap (DPT) diperlihatkan saat Rapat Pleno Terbuka di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (23/10). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Suprianto mengatakan, konflik menyangkut daftar pemilih tetap (DPT) terjadi karena partai politik masih trauma. Yaitu, dipicu buruknya DPT pada pemilu periode sebelumnya. Sehingga hasil pemilu diragukan legitimasinya.

"Trauma pemilu 2009 yang DPT-nya amburadul, Sehingga caleg risau hal yang sama akan terulang. Walau pun KPU sudah bekerja lebih baik sebenarnya," kata Didik di Jakarta, Sabtu (26/10).

Kondisi traumatis itu, ujar dia, akhirnya membuat parpol tidak percaya DPT yang dikeluarkan KPU. Namun, di sisi lain, sebagai penyelenggara pemilu, KPU juga masih menyisakan masalah dalam tata kelola. Terutama menyangkut sistem dan manajerial pemilu.

Dilihat dari sistem yang digunakan, KPU menggunakan sistem daftar pemilih yang berbeda dengan yang digunakan Kemendagri. Sehingga saat disinkronkan, ditemukan banyak perbedaan. Selisih jumlah pemilih pun akhirnya menimbulkan polemik.

Sebab, nomor induk kependudukan (NIK) yang didata Kemendagri menjadi satu syarat utama penduduk dinyatakan sebagai pemilih. Artinya, bila data pemilih KPU tidak menyertakan NIK, harus dicek kembali apakah Kemendagri sebagai basis data pemilih telah benar.

Program e-KTP yang digagas Kemendagri juga memiliki peranan dalam memicu masalah DPT. Sebab, jumlah desa dan kelurahan yang tidak tercatat dalam e-KTP, oleh KPU kemudian dimasukkan dalam pencatatan DPT. 

Sehingga ditemukan data pemilih yang masuk di sistem KPU, tetapi tidak ditemukan dalam sistem kependudukan Kemendagri. Sementara dalam aspek manajerial, KPU masih berkutat dengan anggaran dan pengaturan pembagian kerja secara kelembagaan. 

"Dana belum turun sehingga petugas di lapangan tidak bekerja. Sementara KPU Provinsi, dankabupaten/kot abnayak yang baru dilantik sehingga tidak ada sistem kontrol yang maksimal," ujar Didik.

Namun, ia menilai KPU telah bekerja cukup optimal dibandingkan periode sebelumnya. Terbukti dengan dibentuknya sidalih yang merupakan rintisan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Sistem ini memungkinkan penduduk bisa mengakses statusnya sebagai pemilih.

"Kalau DPT ditetapkan kemarin, saya optimis itu DPT terbaik, dibanding 2009. Karena mekanisme kerja KPU transparan," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement