REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 17 pengacara yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi mengajukan uji materi (menggugat) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/10).
"Jika perppu hanya dimaksudkan untuk mengatur mengenai syarat dan mekanisme pemilihan dan pengawasan hakim konstitusi, maka sama sekali tidak memenuhi kebutuhan hukum untuk bisa dilahirkannya perppu berupa kegentingan yang memaksa," kata perwakilan 17 pengacara Konstitusi, Robikin Emhas saat mendaftarkan gugatan di Gedung MK, Jakarta.
Tujuhbelas pengacara itu adalah, Andi Muhammad Asrun, Samsul Huda, Hartanto, Iwan Gunawan, Unoto, Jodi Santoso, Mukhlis Muhammad Maududi, Nurul Anifah, Heru Widodo, Dorel Almir, Supriadi Adi, Daniel Tonapa Masiku, Robikin Emhas, Sugeng Teguh Santoso, Syamsuddin, Dhimas Pradana, Syarif Hidayatullah.
Robikin mengatakan Presiden memang berhak menerbitkan perppu, karena Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan perppu. Namun, UUD 1945 tidak menentukan apa yang disebut dengan kegentingan yang memaksa itu.
Sehingga Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.
Ketiga syarat tersebut antara lain pertama ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua yakni undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
Sedangkan ketiga yakni, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
"Pertanyaannya kemudian, apakah setelah penangkapan Akil Mochtar oleh KPK telah mengakibatkan terjadinya kegentingan yang memaksa, sehingga untuk mengatasi dan menyelesaikan keadaan tersebut perlu dibuat perppu," ujar Robikin.
Ia mengatakan bahwa pihaknya menilai Perpu tentang MK cacat hukum baik dari segi formil maupun materiil.
Dari segi formil, selain tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa, perppu juga dikeluarkan dikala DPR tidak sedang reses. Padahal menurut dia, perppu hanya bisa dibuat pemerintah apabila DPR sedang reses.
Selain itu, Perppu tentang MK menyinggung bermacam lembaga negara seperti MK, KY, Presiden, DPR, Kekuasaan Kehakiman, dan MA. Faktanya perppu hanya mengacu kepada perubahan UU MK.