REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gun Gun Heryanto menilai, lembaga survei tak hanya mementingkan profesionalitas. Khususnya dalam melakukan dan merilis jajak pendapat. Tetapi juga harus mempertimbangkan etika.
Dalam membuat kategori atau indikator penelitian, lembaga survei dikatakan harus mengutamakan pendekatan keilmuan. Metode penelitian yang digunakan juga harus mengedepankan ilmu statistik dan sesuai dengan ketentuan dalam penelitian ilmiah.
"Jangan diekspos itu indikator misalnya kandidat wacana, atau riil. Logikanya gak nyambung. Karena lembaga survei tak hanya soal profesionalitas tapi juga soal etis," kata Gun Gun di Jakarta, Selasa (22/10).
Menurutnya, jika lembaga survei merilis hasil dengan metode yang serampangan maka akan mudah bagi pembacanya untuk mengkritisi hasil tersbeut. Misalnya saja saat lembaga survei mengeliminasi tokoh yang tengah populer dan memiliki potensi besar sebagai kandidat capres.
Namun, Gun Gun menilai, hasil poling yang diindikasikan atas permintaan kelompok tertentu menjamur lantaran semakin kaburnya fungsi lembaga survei dengan konsultan politik. Tidak sedikit peneliti dan pemilik lembaga survei yang menjadi konsultan politik politisi tertentu.
"Kalau pimpinan lembaga survei juga sebagai konsultan, maka akan terjadi paradoks. Melabrak aturan-aturan yang ada dalam lembaga survei," ujarnya.
Memasuki tahun politik dan pemilu 2014, Gun Gun memperkirakan, lembaga survei akan menjamur. Begitu pun survei dengan metode serampangan. Karenanya, integritas lembaga survei menjadi pertaruhan utama. Selain itu, harus ada pengawasan dari organisasi profesi.
Termasuk proses inisiatif kerja sama dengan akademisi yang mengerti tentang metodologi penelitian yang benar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus tegas mengingatkan aturan tentang penyampaian hasil survei. "Kalau tidak masyarakat akan mengunyah junkfood, yang merusak," kata Gun Gun.