REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikeluarkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono paskapenangkapan Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar menuai pro dan kontra.
Persatuan Indonesia (Perindo) menilai Perppu tentang MK itu tidak tepat dan mendesak DPR menolaknya karena tidak sesuai dengan UUD 1945.
“Keluarnya Perppu tidak tepat karena syarat dikeluarkanya tidak terpenuhi. Perpu itu tidak dibutuhkan karena tak ada kondisi genting. Tertangkapnya Akil Mochtar tidak membuat situasi negara genting,“ ujar Wakil Sekjen Perindo, Hendrik Kawilarang Luntungan, dalam siaran pers yang diterima ROL, Senin (21/10).
Menurut Hendrik, sebuah Perppu dikeluarkan kalau negara sudah benar-benar dalam situasi mendesak. Perppu itu pun, kata dia, dikeluarkan karena ada kebutuhan yang menyangkut isu kesejahteraan, bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai.
“Kalau wewenang yudikatif dan legislatif tercederai karena diserobot eksekutif, itu baru pantas dikeluarkan Perppu,” tegas calon lagislatif Hanura ini.
Hendrik berpendangan, Perppu yang dikeluarkan SBY sudah sangat terlambat karena unsur kegentingan dan keterpaksaannya sudah hilang. Seharusnya, sehari setelah Akil ditangkap KPK perpu sudah dikeluarkan.
"Kalau setelah tiga minggu kepercayaan masyarakat sudah pulih kembali ke MK. Apalagi, sudah ada langkah hukum yang lebih pasti, baik yang dilakukan KPK, PPATK dan Majelis Kehormatan MK," cetusnya.
“Dan karena itulah DPR harus menolak perppu itu,” tegasnya.
Perppu yang dikeluarkan SBY, menurut Hendrik melannggar UUD 1945 karena pemilihan hakim konstitusi sudah diatur di Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24c ayat 6, yaitu: pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tetang MK diatur dalam undang-undang.
Pihaknya menilai Perppu itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Dan tidak berdasar karena kasus itu sudah ditangani secara hukum oleh KPK.