REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Guru besar sejarah Universitas Diponegoro, Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono menyatakan potensi kelautan Indonesia kalau dikelola dengan benar nilainya 10 kali lipat APBN sekarang sebanyak Rp 1.300 triliun.
"Padahal, untuk memenuhi APBN tersebut sebagian harus utang. Kalau laut dikelola dengan baik sudah bisa menutup APBN, bahkan masih sisa banyak dan bisa menutup defisit," katanya di Magelang, Jumat (18/10). Ia mengatakan hal tersebut pada seminar dengan tema " Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara, Kolonial, dan Poskolonial" yang diselenggarakan dalam kegiatan "Borobudur Writers & Cultural Festival 2013"
Lebih lanjut dia mengatakan, hal tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa. "Kalau belajar dari sejarah Indonesia, kita bisa mengkonsep untuk merealisasikan negara maritim itu seperti apa karena 80 persen wilayah Indonesia adalah laut," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia adalah negara laut bukan sekadar negara kepulauan. Kalau negara kepulauan adalah negara pulau-pulau yang mempunyai laut. Sedangkan Indonesia adalah negara laut yang di dalamnya ada daratan-daratan sehingga seharusnya paradigma utama adalah membangun negara laut.
Ia mengatakan, sistem perdagangan di nusantara yang berbasis rempah-rempah berkembang sejak abad ke-8 hingga 16 Masehi yang relatif damai, namun setelah berkembang imperialisme dan kapitalisme di eropa kemudian mereka melakukan ekspansi ke Asia untuk mencari rempah-rempah secara langsung.
Pembicara lainnya, Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Riza Damanik, mengatakan kolonialisme telah bermetamorfosis menjadi kontrol ekonomi melalui instrumen bilateral maupun multilateral. Pada kondisi tersebut, katanya, masyarakat semakin tereliminasi di dalam negaranya sendiri, seperti Indonesia.
Berbagai instrumen kolonialisme, kata dia, baru telah bekerja efektif menjauhkan rakyat Indonesia dari laut, termasuk menenggelamkan kebudayaan baharinya. Menurut dia, untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di laut harus diawali dengan keberanian keluar dari berbagai perjanjian regional maupun internasional yang mengikat Indonesia. Selain itu, pemenuhan hak-hak masyarakat tradisional dan masyarakat hukum adat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi keharusan.