Senin 14 Oct 2013 19:14 WIB

Bebaskan Penderita Skizofrenia dari Pemasungan

Lighting the Hope for Schizophrenia
Foto: creepypasta.wikia.com
Lighting the Hope for Schizophrenia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

 

Ingatan saya seketika menembus suasana kampung halaman ketika mendengar kata skizofrenia. Kejadiannya sudah beberapa tahun lalu. Meski begitu, pengalaman itu baru pertama kali dirasakan. Sehingga, memorinya sangat kuat terekam dalam otak.

 

Ketika itu, ratusan warga kampung berdatangan ke sebuah rumah berdinding bambu. Lokasi kejadiannya di Desa Kemantren, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur

 

Rumah tersebut dihuni oleh seorang wanita paruh baya beserta suaminya. Usia suaminya terpaut jauh dari istrinya. Lelaki tua yang di kampung dianggap gila tiba-tiba membuat ulah. Dia meronta-ronta hingga membuat gaduh seisi kampung.

 

Alhasil, ratusan warga berdatangan ke rumah orang itu. Mereka ada yang mencoba menenangkan bapak tua itu, dan sebagian besar hanya menonton dengan mengelilingi rumah.

 

Kondisi orang itu sangat memprihatinkan. Dia dalam keadaan dirantai dan kedua tangannya dibekap kayu hingga tidak bisa bergerak. Hal itu dilakukan lantaran sang istri tidak mempunyai biaya untuk mengobati suaminya. Karena sering menyerang orang jika ada yang melihatnya, keputusan mengkerangkeng merupakan pilihan terakhir.

 

Hal itu atas pertimbangan sang istri kadang meninggalkan suaminya ketika harus pergi ke sawah. Hanya mengandalkan pendapatan dari menjadi buruh tani jelas tidak cukup untuk membawa suaminya mendapat perawatan intensif, semisal ke dokter spesialis.

 

Karena kendala keterbatasan finansial dan pengetahuan, penderita skizofrenia itu tetap tidak pernah mendapat perawatan medis. Dia tetap dikurung di rumah itu. Masyarakat sekitar juga semakin mahfum dengan keadaan orang ‘gila’ tersebut.

 

Berkaca dari kasus itu, saya menjadi sadar betapa kasus skizofrenia sangat pelik penanganannya. Ketika mengingat pengalaman melihat orang tua dirantai dan dipasung, hal itu jelas menunjukkan adanya kurang pemahaman di masyarakat atas penyakit itu. Mereka cenderung menangani pengidap gangguan mental itu secara tradisional tanpa penanganan medis.

 

Alhasil, penderita skizofrenia tidak punya peluang untuk sembuh. Pasalnya, metode perlakuan terhadap pasien lebih kepada pembiaran. Pemasungan dan pengkerangkengan jelas menunjukkan betapa penderita dianggap memiliki derajat lebih rendah dari masyarakat yang mengaku masih waras.

 

“Lemahnya penanganan di desa tentang pengetahuan masyarakat dalam menangani pasien skizofenia, membuat penderita malah mengalami penyiksaan,” kata psikolog Universitas Trunojoyo, Fadjiryana Fitroh belum lama ini.

 

Bebaskan pemasungan

Pemasungan di berbagai pelosok di Indonesia masih dengan mudah ditemui. Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah Setia Utami mengungkap, pada 2012, setidaknya terdapat 20 ribu kasus pemasungan akibat penyakit jiwa.

 

Mereka yang dipasung adalah adalah yang termasuk orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Definisi pemasungan tidak hanya mencakup dirantai atau dibekap dengan kayu, melainkan juga dikurung dalam kamar hingga tidak bisa menikmati kebebasan sebagaimana manusia lainnya.

 

Karena itu, ketika Kemenkes mengkampanyekan Indonesia Bebas Pasung 2014, target itu jelas jauh panggang dari api. Meski target itu kemudian direvisi menjadi 2019, tetap saja sangat sulit untuk direalisasikan.

 

Bukan bermaksud skeptis. Namun melihat tiadanya gerakan masif untuk membebaskan pemasungan di masyarakat jelas membuat kita harus berpikir realistis. Pasalnya, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskedes) 2007, dari total populasi berisiko 1,09 juta orang ternyata hanya 38 ribu (3,5 persen) lebih yang terlayani dengan baik.

 

Dengan kata lain, sebanyak 96,5 persen belum mendapat perawatan memadai di rumah sakit jiwa atau umum. Alhasil, bukan tidak mungkin sebagian besar dari mereka yang sudah mengidap skizofrenia harus mendapati perlakuan tidak wajar dari keluarga dan masyarakat sekitarnya.

 

Minimnya keterlibatan pemerintah dalam penanganan penderita gangguan jiwa berat mendapat kritikan psikolog lulusan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya (Untag), Espriswati. Menurut dia, jumlah penderita skizofrenia yang mendapat perlakuan mumpuni jumlahnya kalah jauh dibanding dengan yang mendapat perawatan medis.

 

Dia tidak menyalahkan sepenuhnya kepada pemerintah atas terabaikannya hak warga negara dalam mendapat fasilitas kesehatan. Persoalan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat juga turut mempengaruhi masih banyaknya penderita skizofrenia diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.

 

“ODMK memiliki hak dilindungi dan juga layak hidup plus mendapat fasilitas normal,” kata Espriswati. “Tapi, kurangnya pengetahuan dan faktor ekonomi, kadang daripada berpikir ribet keluarga akan memilih memasung sang penderita,” imbuhnya.

 

Dia menekankan, Indonesia sudah dalam kondisi darurat pemasungan. Pada era modern, harusnya model pemasungan sudah tidak ditemukan lagi di masyarakat. Namun, hal itu merupakan fenomena yang dapat ditangkap dengan gamblang jika seseorang pergi ke suatu daerah pelosok.

 

Pemerintah harus turun tangan agar jumlah penderita skizofrenia yang belum terobati semakin berkurang. Keberpihakan sebuah kebijakan dari pemerintah sangat dinantikan sebagai wujud ‘Lighting the Hope for Schizophrenia’. Harus diingat, dengan membiarkan mereka terus menderita, konsekuensinya bakal banyak energi, dana, dan waktu keluarga maupun masyarakat yang tersita.

 

Mengacu pada skizofrenia yang termasuk 10 penyakit nonfatal terbesar yang menyebabkan biaya terbesar bagi penderita, keluarga, dan negara secara keseluruhan, sangat terang jika persoalan ini harus segera dicarikan solusinya. Pemerintah harus membuat gerakan masif, tidak semata slogan untuk setidaknya mengurangi jumlah penderita gangguan jiwa berat.

 

Sebagai negara yang menunjung persamaan hak warga negara, tentu saja penderita skizofenia juga memiliki hak untuk menuntut mendapat perhatian pemerintah. Jangan sampai, mereka hanya diperhatikan dalam urusan politik dengan hanya terdaftar mendapat kesempatan mencoblos di pemilukada.

 

“Tetangga saya abnormal, terkena down syndrome juga, tapi diberi kesempatan untuk memilih calon. Terus, mengapa mereka tidak diperjuangkan untuk mendapat fasilitas kesehatan yang layak?” gugat Espriswati. “Pemasungan sudah tidak musim lagi, harus dihapuskan agar Indonesia menjadi negara beradab,” tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement