REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir menilai, isu hilangnya berita acara pemeriksaan (BAP) sejumlah saksi yang menyebut keterlibatan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dalam kasus korupsi Hambalang, adalah bentuk protes karena perekrutan penyidik KPK dari unsur TNI.
Akhir pekan ini, sebuah broadcast message beredar di kalangan wartawan. Dalam pesan tersebut, dikatakan kini ada 20 penyidik TNI yang menangani kasus Hambalang. Semua BAP yang menyebutkan dugaan keterlibatan Ibas dalam proyek korupsi Hambalang tiba-tiba hilang. Alat bukti soal dugaan keterlibatan Ibas juga dihilangkan.
"Kalau ada isu terjadinya penghilangan, ini efek dari pengangkatan penyidik dari TNI itu," kata Muzakir yang dihubungi ROL, Ahad (13/10).
Muzakir menjelaskan, berdasarkan pasal 38, 41 dan 42 UU KPK, penyidik KPK diambil berdasarkan KUHAP yaitu penyidik dari kepolisian dan penuntut umum dari kejaksaan. Kalau penyidik dari militer, ada perbedaan penanganan antara penyidik sipil dengan penyidik militer.
Menurutnya, KPK dapat menindaklanjuti pesan tersebut meski belum jelas kebenaran dan pengirimnya. Hal ini hanya sebagai antisipasi dugaan penghilangan BAP tersebut. Jika memang benar ada upaya dari penyidik untuk menghilangkan BAP, maka penyidik itu harus dipecat di hadapan publik.
Selain itu, penyidik ini juga dapat diproses secara pidana karena dapat dianggap menghalang-halangi penyidikan. "Kalau benar, harus diproses pidana karena termasuk dalam menghalangi penyidikan," jelasnya.
Ia mengimbau untuk penyidik KPK masih membutuhkan dari unsur kepolisian. Sebab, penyidik dari kepolisian masih dapat bekerja secara profesional kalau tidak ada yang menungganginya secara politik.
"Kalau tidak ditunggangi politik, saya yakin penyidik dari kepolisian masih bisa profesional. Ini kan tidak bisa sembarangan karena menyangkut mewakili negara," tegasnya.