REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final and binding harus direkonstruksi. Sebab sifat ini menjadi salah satu pemicu atau sumber pendorong suap.
Demikian diungkapkan M Abdul Kholiq, dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta dalam 'Diskusi Publik tentang Menegakkan Martabat Mahkamah Konstitusi' yang digelar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII di Yogyakarta, Kamis (10/10).
Selain merekonstruksi sifat putusan MK, kata Kholiq, untuk memulihkan martabat MK, perlu dilakukan pembaharuan sistem hukum, terutama pada sub sistem budaya hukum masyarakat.
Sebab suap tidak saja terjadi karena keslahan pejabat semata. Namun adanya godaan dari 'masyarakat' penyuap yang tergilas budaya instan dan 'zaman edan.'
Sedang upaya lain adalah law inforcement secara konsisten, bahkan cenderung keras seperti hukuman tinggi sebagai shock teraphy.
"Apalagi kasus MK ini yang diduga menjadi pelaku kejahatan adalah ketua lembaga negara itu sendiri," kata Kholiq.
Sementara Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII, Sri Hastuti Puspitasari, mengatakan berita tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mukhtar mengagetkan publik.
Masyarakat yang selama ini melihat MK sebagai peradilan yang cukup independen, berintegritas dan seperti sulit terjamah mafia peradilan, akhirnya rontok dan dibuat kecewa, heran, bahkan tidak habis pikir dan mungkin ada yang terpukul.
"Penangkapan ketua MK jelas menjadi pukulan telak dan jelas menjadikan perasaan publik bercampur aduk," kata Sri Hastuti Puspitasari.
Menurut dia, MK adalah salah satu puncak keadilan di Indonesia. Sehingga tertangkapnya sang ketua dengan para tamunya yang membawa sejumlah uang senilai sekitar Rp 2-3 miliar merupakan bukti awal bahwa sang ketua MK tidak mampu lagi menjaga mahkota keadilan di institusi yang dipimpinnya.
"Uang yang ditemukan ketika operasi tertangkap tangan (OTT) tersebut patut diduga terkait dengan sengketa pemikukada Gunung Mas Kalteng yang sedang diproses di MK," katanya.
Bahkan ia menilai, jika apa yang pernah dikatakan saudara Refli Harun pada tahun 2010 dapat diungkap kembali, maka akan bertambah deret dugaan suap yang menimpa AM yang juga mantan politisi dari salah satu partai politik besar di negeri ini.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi, kata Sri Hastuti, ditemukannya narkoba di ruangan AM semakin menambah buruk citra institusi yang pernah paling dipercaya publik tersebut setelah KPK.
"Hal ini menunjukkan MK sudah ada dalam genggaman mafioso peradilan dan bandar narkoba, jika tidak segera diambil langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan MK, maka ambruklah lembaga hasil reformasi ini. sungguh mengerikan!!!," katanya menegaskan.
Ia pun menguraikan jika persoalan MK ini dibiarkan tanpa ada yang mengawal, maka kalangan yang selama ini menjadi rivalitas MK akan mengambil kesempatan ini untuk melemahkan MK.
Oleh karenanya semua kalangan harus melihat situasi ini secara jeli, jangan sampai situasi ini ditunggangi oleh kepentingan entitas tertentu yang menghendaki hancurnya MK.