REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nur Aini
Rumah Khatimah rusak. Saat itu awal 2012. Kampung nelayan di Desa Labuhan Sumbawa, Kecamatan Sumbawa Besar, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dihantam gelombang. Rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu itu digenangi air.
Para nelayan membuat tanggul dari karung berisi pasir. Malam telah larut, tetapi Khatimah belum memejamkan mata. “Semua orang sibuk buat tanggul, kami tidak bisa tidur,” ujar siswa SMP Negeri I Labuhan itu kepada Republika Online, Senin (30/9).
Saat gelombang tinggi, nelayan di Desa Labuhan tidak melaut. Sumber penghasilan dan makanan dari hasil laut tidak ada. Khatimah makan seadanya. Mie instan lebih sering dikonsumsi meski makan hanya dua kali sehari.
Ida Ansharyani juga mengingat betul gelombang tinggi yang menerjang Kampung Pasir di Kecamatan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Gelombang yang kemudian diketahui akibat dari Badai Narelle menghancurkan rumah-rumah nelayan.
Tanggul tidak ada di sana. Sekitar 9.000 warga yang mendiami Kampung Pasir kelimpungan. Peringatan gelombang tinggi tidak sampai ke telinga warga. Mereka menghabiskan sepanjang siang dan malam untuk memasukkan pasir ke karung-karung. Tumpukan karung itu mereka harap bisa melindungi rumah mereka dari terjangan ombak yang mengamuk.
Nelayan tidak hanya mengkhawatirkan rumah. Badai menghentikan aktivitas mereka melaut. Ikan tidak ada. “Orang-orang di sini sibuk mengurus air, memasukkan pasir, tapi hal paling dasar, makanan tidak jelas dapat dari mana,” tutur Ida.
Gelombang tinggi hampir datang setiap tahun. Perubahan iklim membuat gelombang tinggi datang tidak menentu. Apalagi, peringatan dini terhadap gelombang kerap tidak menyentuh nelayan di Pulau Sumbawa. “Nelayan kami tidak tahu apa-apa (kapan badai datang),” ungkap Ida.
Masalah kekurangan pangan rutin menghampiri nelayan. Akan tetapi, sejak awal 2013 kondisi itu mulai berubah. Anak-anak setempat membuat kebun nutrisi untuk memenuhi kebutuhan makanan saat badai.
Kebun nutrisi tersebut digagas Ida dan adiknya, Eni Hidayati. Keduanya menyebut kebun tersebut sebagai ‘ecogarden’. Semangat nama itulah mendasari pembuatan kebun yang berwawasan lingkungan.
Kebun nutrisi tidak dibuat Ida dan Eni sendiri. Pemuda setempat termasuk anak-anak nelayan juga dilibatkan. Mereka meyakinkan delapan anak muda yang masih sekolah dari SD-SMA untuk menanam. Mereka menggunakan lahan milik keluarga untuk membuat proyek percontohan kebun nutrisi.
Kebun nutrisi dibangun dengan bahan-bahan yang dapat ditemukan di sekitar rumah. I Putu Wahyu Sanjaya, Wahyu panggilannya, mengumpulkan sampah untuk menjadi bahan pokok kebun nutrisi. Sampah organik mereka olah menjadi kompos. Sementara sampah anorganik seperti botol dan kaleng mereka gunakan sebagai media tanam.
Selain untuk memastikan pasokan pangan, Wahyu mengaku terlibat dalam kebun nutrisi karena masalah sampah. Dia menyebut masalah sampah di Sumbawa sudah parah. “Sampah berserakan, panas, debu, kesadaran masyarakat juga kurang,” keluhnya.
Tanaman di kebun nutrisi bervariasi. Sayur seperti sawi, cabai, tomat, dan bayam ditanam. Mereka juga menanam bunga. “Kami sengaja menanam bunga dan beberapa tanaman unik untuk mengundang keinginan anak muda menanam,” terang Wahyu.
Keinginan mereka untuk menarik lebih banyak anak muda menanam disambut. Kini siswa di empat sekolah lain terlibat ikut menanam di kebun nutrisi. Mahasiswa dari Universitas Samawa, Sumbawa Besar pun turut ambil bagian menanam. Kegiatan kebun nutrisi pernah melibatkan 125 mahasiswa dari universitas tersebut.
Dari mana biayanya? Wahyu mengakui hampir tidak ada biaya untuk menghidupi kebun nutrisi itu. “Kami gunakan alat seadanya untuk menanam. Kompos juga bisa didapat gratis,” ujar siswa SMA Negeri 1 Sumbawa Besar tersebut. Dalam keterbatasan tanaman di kebun pun mulai hidup.
Pembuatan kebun dilakukan secara organik. Mereka membuat pestisida dari bahan-bahan organik yang ada di sekitar rumah. Tanaman di kebun dipilih yang cocok dengan lingkungan pesisir. Hasilnya, tanaman bisa tumbuh di bidang tanam pasir.
Biaya untuk beli bibit pun datang dari kebun itu sendiri. Pada Januari 2012, ide pembuatan kebun nutrisi diapresiasi dengan kemenangan di sebuah perlombaan bertema lingkungan. Mereka mendapat dana sebesar Rp 5 juta. Dana itu kemudian digunakan untuk membeli peralatan dan kebutuhan kebun nutrisi.
Kini sebuah rumah panggung telah berdiri di dekat kebun nutrisi. Rumah tersebut dibuat dari kayu dan bambu yang berfungsi sebagai tempat edukasi anak muda agar lebih banyak menanam. Dari delapan anak, kebun nutrisi kini dikelola 20 anak muda Sumbawa.
Kebun nutrisi kemudian berkembang dan mulai hadir di rumah nelayan. Khatimah, anak nelayan setempat mereplikasi kebun nutrisi di rumahnya. Pot-pot tanaman terlihat memenuhi pagar rumah. Pot itu ditanami berbagai macam sayuran seperti terong,cabai, bawang dan tomat.
Khatimah merasakan kebun nutrisi menjadi pendukung nyata kebutuhan dapur. Pendapatan nelayan yang tidak tetap, membuat keluarga nelayan harus mencari alternatif makanan saat badai. Terumbu karang di perairan dekat pantai yang mulai rusak turut membuat pendapatan nelayan berkurang. Kebutuhan solar untuk melaut semakin tinggi karena nelayan harus lebih jauh berlayar mencari ikan.
Saat badai datang, nelayan menggantungkan kebutuhan pada bantuan pemerintah daerah. Namun, Wahyu mengungkap nasi bungkus yang dibagikan kerap tidak merata. “Kami ingin dengan kebun nutrisi ini nelayan bisa mandiri saat badai datang,” ungkapnya. Nelayan bisa tidak melaut selama satu bulan akibat badai.
Kebun nutrisi akan dikembangkan lebih lanjut dengan menambah peternakan lebah. Anak-anak muda Sumbawa itu kini tengah mencari indukan lebah untuk dikembangkan di kebun.
Badai yang datang tanpa peringatan akan selalu menjadi ancaman bagi nelayan. Kepala Bidang Meteorologi Maritim BMKG, Agus Wahyu Rahardjo membantah tidak ada peringatan badai dan tinggi gelombang ke nelayan. Dia menegaskan BMKG sudah rutin memberi informasi tinggi gelombang dan peringatan badai ke setiap pelabuhan. BMKG menggunakan berbagai media pengiriman informasi seperti surat elektronik, fax, hingga pesan singkat ponsel (SMS).
Informasi mengenai gelombang dari BMKG terpusat di pelabuhan. “Seharusnya pelabuhan perikanan menyebarkannya ke nelayan,” ujar Agus. Bahkan, Agus mengungkap sudah bekerjasama dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk penyebaran informasi cuaca ke nelayan secara langsung.
Penyebaran peringatan badai atau gelombang tinggi dilakukan melalui sms ke nelayan secara langsung. Tetapi, Agus mengakui koordinasi komunikasi ke nelayan tergantung pelabuhan. “Di sana ada pelabuhan…informasi tersebar melalui tanggungjawab mereka,” ujar Agus.
Agus menambahkan Indonesia relatif aman dari badai besar karena terletak di garis khatulistiwa. Tetapi, BMKG mengkonfirmasi telah terjadi pergeseran waktu musim kemarau dan musim hujan. Hal itu bisa memicu terjadinya kemarau basah yang menyebabkan gelombang tinggi dan angin kencang.
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sharif Cicip Sutardjo juga mengaku sudah membuat program untuk mengatasi masa paceklik bagi nelayan. Kementrian membuat program tabungan nelayan pada saat lelang ikan. Besarnya tabungan ini mencapai dua persen dari hasil lelang.
Program untuk membantu nelayan saat tidak bisa melaut juga termasuk pengolahan hasil laut. Kementerian menggagas diversifikasi usaha wanita nelayan dengan bantuan sarana pengolahan. Bahkan, asuransi nelayan pun diperkenalkan.
Untuk mengatasi masalah kekurangan pangan secara langsung, Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan ada bantuan beras bagi nelayan. Bantuan ini disebarkan melalui dinas sosial di masing-masing wilayah.
Sayangnya, masyarakat pesisir semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim yang semakin ekstrem. Informasi dari BMKG mengkonfirmasi telah terjadi pergeseran musim kemarau dan musim hujan. Datangnya cuaca buruk, angin kencang, dan gelombang tinggi semakin tidak menentu. Karena itu, replikasi kebun nutrisi bisa menjadi alternatif saat iklim tidak lagi bisa diprediksi.