REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah
JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik, Andinov Chaniago, menegaskan patut dicurigai bila pemerintah tetap berkeras menjalankan penjualan mobil murah. Apalagi, setelah dijajaki dan dipahami secara detil kebijakan tersebut jelas bermasalah, bahkan menipu. Yang paling penting hanya sebagian orang saja yang diuntungkan, sedangkan publik secara luas malah dirugikan.
''Saya tegaskan kebijakan itu tak hanya menipu, tapi sudah menjadi semacam predator. Segala alasan yang dipakai landasan untuk meluncurkan kebijakan mobil murah tak masuk akal serta memakan kepentingan banyak kelompok masyarakat. Alhasil, selain menipu dan predator, kebijakan tersebut juga bisa disebut palsu,'' kata Andrinov Chaniago, dalam acara diskusi 'Pro Kontra Mobil Murah', di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/9).
Salah satu contoh konkrit dari kebijakan itu palsu adalah adanya klaim bahwa dengan adanya mobil murah maka kondisi lingkungan bisa diselamatkan dan konsumsi bahan bakar minyak menjadi menurun. Padahal logika semacam ini jelas sesat atau terpelintir karena dengan adanya mobil murah maka jumlah mobil membengkak.
Sedangkan klaim ramah lingkungan juga menjadi omong kosong karena mobil itu bukan hibrid maupun mobil listrik. ''Jadi ini kebijakan aneh dan harus ditolak.'' ujarnya.
Pengamat transportasi Darmaningtyas menyatakan senada. Selain menipu, kebijakan itu juga kontraproduktif untuk satu isu yang sama. Sebab, bila pemerintah berfikir konsisten maka kebijakan yang tepat adalah menaikkan harga BBM secara signifikan dan mengalihkan subsidinya untuk pembangunan infrastruktur dan pengadaan sarana angkutan umum hingga ke segenap wilayah negara.
''Dalam hal ini jelas yang dibutuhkan adalah bukan mobil murah, tapi tersedianya angkutan umum yang berkualitsas dan murah,'' tegas Darmaningtyas.
Sementara itu, anggpta komisi VI DPR, Hendrawan Supratikno, mengatakan Indonesia memang kini telah kehilangan momentum untuk memiliki industri otomotif yang tangguh. Ini terjadi karena semenjak dahulu kebijakan industrialnya memang tidak konsisten.
''Indonesia kini benar-benar menjadi pecundang di tengah desakan arus liberalisasi yang mengabaikan tahapan, urutan, dan kesiapan ekologi industrial domestiknya,'' tandas Hendrawan.