REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem rekrutmen kader dalam tubuh partai di Indonesia sangat buruk. Jejak rekam kader tak pernah jadi pertimbangan. Pragmatisme politik, telah membuat sistem kaderisasi tak jalan.
Yang memprihatinkan, eks koruptor justru diberi tempat di posisi strategis. Mestinya, partai jangan menjadi tempat penampungan bagi para mantan koruptor.
Peneliti Indonesian Budgeting Center (IBC), Roy Salam, mengatakan itu di Jakarta menanggapi diangkatnya Mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, sebagai Plt Ketua Partai Nasdem Sumatra Selatan kepada wartawan, kemarin.
Roy menyayangkan pengangkatan itu. Sebab Syahrial adalah mantan pejabat yang pernah terlilit kasus korupsi. Mestinya, partai ketika hendak merekrut kader, mempertimbangkan dengan teliti jejak rekamnya. "Janganlah partai itu menjadi penampung bagi para mantan korupsi," kata Roy.
Menurut Roy, rekam jejak kader itu sangat penting bagi organisasi yang keberadaanya membutuhkan dukungan publik seperti parpol. Tapi memang faktanya penelusuran rekam jejak belum menjadi kebutuhan dan budaya partai di Indonesia.
"Dalam rekruitmen kader pemimpin partai atau jabatan strategis ditubuh partai, jejak rekam banyak diabaikan," katanya.
Padahal, kata dia, jika ada partai yang mempunyai aturan main terkait keharusan melakukan rekam jejak dalam rekruitmen kader, publik pasti akan mengapresiasinya. Tapi, akan sangat ironis, bila seorang mantan napi korupsi, diberi posisi strategis dalam kepengurusan partai. Itu sama saja, partai tak punya komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi.