REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tim Mahasiswa Teknik Mesin UGM yang tergabung dalam grup riset Flying Object Research Center (FORCE) melakukan uji coba penerbangan pesawat tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) yang diberi nama Camar Biru di lapangan Graha Sabha Pramana (GSP) UGM, Rabu (25/9).
Tim FORCE UGM ini terdiri atas delapan mahasiswa dan tiga dosen pembimbing. Delapan mahasiswa ini adalah Deni Dwi Nugroho (pilot), Wahyu Wijayanto, Riadro Pramudyo, Ridwan Widoyoko, Damar Satrio Guntoro, Gilang Abimantrana, Alviono Rahmadiyanto, dan Panji Setio Nugroho. Mereka dibimbing oleh tiga dosen yaitu Gesang Nugroho, Purnomo dan Catur Aries Rokhmana.
Dalam ujicoba penerbangan di lapangan GSP UGM tersebut pesawat kecil tanpa awak ini mampu terbang selama 15 menit dengan ketinggian 200 meter. Saat take off pesawat ini diterbangkan melalui remote control, namun saat di udara pesawat ini akan terbang mengikuti garis lintasan yang telah diprogram melalui GPS. "Tetapi saat mau landing, harus menggunakan remote lagi," ujar Dosen Pembimbing, Gesang Nugroho.
Saat take off, pesawat tersebut mampu meluncur dengan bagus dan terbang mengitari kawasan UGM. Namun saat landing, pesawat tersebut agak oleng dan sayap pesawat sempat menyentuh tanah. Nmaun kondisi pesawat tidak mengalami kerusakan.
Pesawat kecil yang dilengkapi kontroller, sensor dan sistem telemetri ini mampu terbang dalam jarak 8 kilometer. Pesawat ini menurut Gesang, mampu terbang maksimal dalam ketinggian 600 meter dengan kecepatan 60 kilometer per jam. Namun dalam ujicoba tersebut hanya diterbangkan dalam ketinggian 200 meter saja.
"Pesawat ini hanya mampu terbang 15 menit karena faktor baterai saja," tambahnya. Pesawat kecil buatan mahasiswa UGM yang diberinama UAV Camar Biru ini memiliki panjang 120 centimeter (cm), tinggi 30 cm, wing-span 200 cm dan take off weight 4 kilogram. Pesawat ini dilengkapi kamera Gopro Hero 3 yang berfungsi untuk video dan foto, video sender untuk mengirim video ke Ground Control Station (GCS) serta Digi X-Trend 900 Mhz Radio Transciever untuk sistem telemetri.
Dengan teknologi tersebut maka pesawat ini bisa digunakan untuk mengirimkan live video, membuat peta udara dari mozaik foto dan melakukan dropping payload pada lokasi tertentu.
"Pesawat ini merupakan generasi ketiga. Kita pertama membuat pada 2011 lalu namun hanya kita simpan di jurusan. Untuk generasi ini akan kita ikutkan dalam Kontes Robot Terbang di Bandung November mendatang," jelasnya.
Ke depan kita akan merancang untuk generasi keempat dengan pesawat yang lebih besar. Rencananya akan ada kerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia terkait hal tersebut. Dengan kemampuan yang ada, pesawat tanpa awak milik UGM ini bisa difungsikan untuk pemantauan lalulintas, pemantauan daerah bencana, lahan pertanian, gunung berapi, membantu tim SAR di laut dan Patroli daerah perbatasan maupun laut.
Kelemahan dari pesawat ini adalah belum bisa terbang dalam cuaca yang hujan. "Kita belum mampu untuk cuaca hujan karena pesawat belum kuat dengan hujan," jelasnya.
Sementara itu salah satu mahasiswa anggota tim FORCE UGM, Riandro Pramudio mengatakan, pesawat tersebut merupakan hasil belajar dari para mahasiswa Teknik Mesin UGM. "Kita masih terus belajar untuk mengembangkan pesawat ini," ujar mahasiswa Teknik Mesin UGM angkatan 2008 ini.
Diakuinya kendala utama lebih ke finansial, karena untuk membuat pesawat tersebut setidaknya dibutuhkan dana Rp 25 juta.