Rabu 25 Sep 2013 23:57 WIB

Malaria di Papua Tertinggi

Rep: Neni Ridarineni/ Red: Dewi Mardiani
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).
Foto: AP
Nyamuk adalah salah satu penyebar penyakit malaria (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Di sebagian besar Jawa, malaria sudah terkontrol dengan Annual Parasitical Index (API) sekitar satu atau di bawah satu (sesuai target MDG). Namun, kasus di Indonesia timur seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT masih tinggi dan tertinggi di Papua dengan API lebih dari 20 per 1.000 penduduk.

Hal itu dikemukakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama melalui surat elektronik, Rabu (25/9). Menurut dia, di daerah timur, disparitas API antardaerah masih besar, terutama di daerah Timur Indonesia lebih dari 10 per 1.000 penduduk.

Beberapa tantangan dalam pengendalian malaria adalah keterbatasan akses pelayanan kesehatan, kesinambungan jangkauan, kualitas diagnosis (mikroskopis) dan tatalaksana kasus,  sinergi lintas program dan lintas sektor dan meningkatnya potensi faktor resiko.

Lebih lanjut Prof Tjandra mengemukakan,  masalah dalam penanggulangan malaria, antara lain: Adanya faktor vektor penular penyakit, yaitu nyamuk, yang memang ada di alam dan tidak terlalu mudah ditangani; Adanya aspek lingkungan, yang mempermudah juga berkembang biaknya nyamuk; Adanya masalah resistensi terhadap obat malaria; Masalah umum lainnya antara lain: pengetahuan masyarakat yang kurang dan tingkat sosio ekonomi.

Karena itu, kata dia, ada berbagai hal yang perlu dilakukan adalah promotif dalam bentuk terus melakukan penyuluhan pada masyarakat. Untuk preventif dilakukan dalam bentuk pemakaian kelambu berinsektisida jangka panjang(KBJP), serta penganganan vektor (penyemprotan dalam rumah (PDR); penggunaan larvasida; penggunaan pendekatan biologik, seperti ikan kepala timah; penggunaan briket,dan lain-lain.

Dikatakannya, diagnosis untuk malaria tidak boleh berdasar keluhan semata, melainkan harus dengan pemeriksaan laboratorium mikroskopik dan rapid diagnostic test (RDT). Sampai saat ini, kata dia, resistensi terhadap obat Artemicinine Combination Therapy (ACT) belum terjadi di Indonesia, yang sudah ada terjadi adalah di kawasan delta Sungai Mekong.

Menurut Tjandra, dalam penanggulanan malaria diperlukan konsistensi dan kecintaan terhadap pekerjaan penyuluhan, pemerintah berperan dalam memimpin Gebrak Malaria, 3. Kemampuan menjangkau Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan yang akan membantu penanggulangan malaria di daerahnya, serta inovasi yang berbasis ke arifan lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement