REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Koalisi partai politik idealnya dilakukan sebelum pemilihan umum anggota DPR, DPRD, dan DPD, bukan menjelang pemilihan presiden.
"Koalisi parpol pascapemilihan legislatif cenderung merupakan mutilasi demokrasi," kata Pengamat politik dari Universitas Indonesia Mulyana W Kusumah dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (23/9).
Ia menilai kecenderungan politik oportunistik dan transaksional konspiratif lebih terbuka bila koalisi parpol mengusung calon presiden dan wakil presiden dilaksanakan pascapemilihan legistatif.
Koalisi pasca pemilihan legislatif, imbuhnya berpotensi memanipulasi rakyat dalam menentukan pilihan politik dalam pemilihan presiden dengan kesadaran palsu, tanpa memahami agenda politik koalisi parpol. "Jadi lebih sebagai keterpaksaan," kata Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies (7SS) tersebut.
Mulyana mengatakan konstitusionalitas koalisi parpol sebelum pemilihan legislatif didasarkan pada Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
"Interpretasi pasal UUD 1945 tersebut dapat dipertegas dalam Revisi UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres," kata mantan komisioner KPU itu.
Ia pun menyebut koalisi parpol sebelum pemilu sudah lama dijalankan sebagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara, antara lain Barisan Nasional (Malaysia),? Syriza (koalisi kiri radikal Yunani), Drugaya Rossiya (The Other Russia, Rusia ), India, dan Polandia dengan fungsi utama pengerahan sumber daya politik berbasis elektoral lebih luas.