REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Politikus Partai Golkar Harry Azhar Azis berpendapat pemilihan presiden pada Juni 2014 akan lebih seru jika tidak dikuti oleh Joko Widodo (Jokowi).
"Tentu dinamika politik lebih hidup dan persaingan semakin seru jika pemilihan presiden tidak diikuti Jokowi, karena kekuatan figur yang diusung masing-masing partai berimbang," kata Harry, yang juga Wakil Ketua Komisi XI DPR, di Tanjungpinang, seperti dikutip Antara.
Ia mengakui Jokowi merupakan kader PDIP yang cukup terkenal dan disukai masyarakat. Namun, hingga sekarang PDIP belum memutuskan figur yang diusung sebagai capres.
Harry menilai kemungkinan strategi membungkus nama capres yang akan diusung dilakukan PDIP untuk melindungi capres tersebut agar tidak digembosi.
"Kan masih ada Megawati Soekarnoputri. Bahkan ada beberapa indikasi bahwa Megawati menjadi capres, sedangkan Jokowi menjadi pendampingnya," ucapnya.
Bila hal itu terjadi, tambah dia, maka PDIP harus bekerja keras untuk memperoleh 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara pemilih pada Pemilu 2014. Jika tidak terpenuhi, maka PDIP harus berkoalisi dengan partai lain.
"PDIP tidak berburu-buru menentukan capres dalam menghadapi pemilihan presiden, tidak seperti Hanura yang telah memproklamirkan Wiranto dan Hary Tanoe sebagai capres dan cawapres. Jika suara yang diperoleh Hanura tidak mencapai 20 persen, maka Wiranto dan Hary Tanoe tidak dapat berpasangan," ungkapnya.
Menurut dia, masyarakat Indonesia cenderung memutuskan pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden bukan berdasarkan program yang dijual, melainkan figur. Capres yang memiliki program yang baik belum tentu terpilih menjadi presiden, meski populer.
"Figur yang populer belum tentu dipilih masyarakat," ujar anggota DPR dari daerah pemilihan Kepulauan Riau itu.
Sementara Partai Golkar sampai sekarang masih mengusung Aburizal Bakrie sebagai capres. Mesin politik Golkar sudah bergerak sejak beberapa bulan terakhir.
Golkar tidak pernah khawatir bersaing dengan figur lain. Waktu yang tersisa ini, kata dia, akan dimanfaatkan Golkar untuk memenangkan Pemilu 2014 dan pemilihan presiden.
"Hasil Rampinas Golkar Oktober 2013 akan menentukan arah perpolitikan Partai Golkar. Sejauh ini, Golkar hanya memiliki satu pilihan yaitu Aburizal Bakrie sebagai capres," katanya.
Koalisi PDIP dan Golkar
Sebelumnya, Board of Advisor CSIS, Jeffrie Geovanie, memprediksi setelah Pemilu 2014 PDI Perjuangan mau tak mau harus berkoalisi dengan Golkar jika tak menggandeng Demokrat dan Gerindra.
"Namun tentu bukan Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie. Tapi Golkar pascamunas 2015," ujar Jeffrie.
Saat ditanya siapa tokoh Golkar yang berpeluang untuk menjadi calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi? Jeffrie menjawab tokoh Golkar agar memiliki dasar untuk mengambil-alih Golkar pada munas 2015.
"Kemudian Golkar pascamunas tersebut akan berkoalisi dengan PDIP," ungkapnya.
Menurut Jeffrie, Jokowi sebagai capres dari generasi baru tentu harus mencari cawapres yang punya senioritas dalam politik Indonesia, seperti halnya Obama dengan Joe Biden.
"Tokoh Golkar senior tersebut juga sebaiknya mempunyai kemampuan diplomasi luar negeri yang baik, mengingat Jokowi akan fokus mengurus dalam negeri," papar Jeffrie.
Cawapres yang ideal mendampingi Jokowi, kata dia, harus memiliki latar belakang militer. "Kalau sipil, ya sipil yang tegas dan berani."
Lebih baik lagi, tutur Jeffrie, cawapresnya berbeda sukunya dengan Jokowi. Semakin sempurna kalau juga memiliki basis dukungan dari masyarakat yang sudah terbukti.
"Kalau itu terjadi maka partai penguasa pasca2014 adalah PDIP didukung Golkar dengan partai penyeimbang pemerintahan yang dipimpin Demokrat. Kita lihat saja tidak lama lagi, satu tahun lagi," ungkap Jeffrie.