REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Air baku PDAM Purwakarta tercemar limbah. Limbah tersebut, berasal dari limbah pakan kolam jaring apung yang ada di Waduk Jatiluhur.
Air baku tersebut, warnanya jernih. Namun, mengeluarkan bau tak sedap. Karenanya, perusahaan BUMD tersebut meningkatkan biaya produksi guna menghilangkan bau tersebut.
Humas PDAM Purwakarta, Hermawan, mengatakan, pencemaran ini sudah lama terjadi. Namun, paling kentara ketika musim kemarau. Sebab, debit Waduk Jatiluhur menyusut, maka pompa milik PDAM mengalami penurunan. Semakin dalam jangkauan pompa, dengan begitu semakin mendekati limbah pakan yang telah mengendap tersebut.
"Makanya, kalau musim kemarau air bakunya bau," ujarnya, kepada Republika, Rabu (11/9).
Dengan kondisi ini, lanjut dia, PDAM jadi menambah biaya produksi. Yaitu, untuk pembelian obat-obatan guna menghilangkan bau tak sedap tersebut. Namun, untuk angka riil peningkatan biaya produksinya, dirinya belum mengetahui. Sebab, belum ada laporan dari bagian produksi.
Tetapi, yang jelas PDAM berupaya untuk tetap memberikan pelayanan yang maksimal kepada pelanggan. Apalagi, sampai saat ini ada 22 ribu pelanggan yang harus di layani PDAM. Pelanggan itu, tersebar di empat kecamatan. Yakni, Plered, Purwakarta, Wanayasa dan Campaka.
Selain pencemaran, lanjut Hermawan, saat musim kemarau ini air baku mengalami penyusutan. Terutama, di sumber mata air Cigoong dan Cilembang Sari. Biasanya, debit air untuk dikelola itu mencapai 180 liter per detik. Kini, menurun jadi 60 sampai 70 liter per detik.
Sedangkan, air dari Waduk Jatiluhur relatif stabil debitnya. Yakni, 180 liter per detik. Hanya air Jatiluhur ini kendalanya cuma satu, yaitu pencemaran limbah.
Dengan menyusutnya volume dua sumber mata air PDAM ini, Herwamawan mengaku, tidak ada dampaknya terhadap suplai air bersih ke pelanggan. Sebab, air dari dua sumber di wilayah Wanayasa itu akan dicampur dengan air dari Waduk Jatiluhur. Jadi, air dari Jatiluhur debitnya ditambah untuk menutupi kekurangan dari dua sumber tersebut.
Terkait dengan pencemaran air ini, pihaknya telah koordinasi dengan PJT 2 Jatiluhur. Namun, belum ada solusi yang tepat. Mengingat, keberadaan kolam jaring apung justru semakin banyak.
Sementara itu, Direktur Utama PJT 2 Jatiluhur, Herman Idrus, mengaku, air waduk saat ini baunya seperti air kecomberan (got). Hal itu, disebabkan oleh tingginya pencemaran limbah pakan ikan. Pihaknya, tak bisa berbuat banyak, selama waduk tersebut masih jadi area budidaya ikan air tawar.
"Kondisi ini akan tetap begini, selama masih ada kolam jaring apung," ujar dia.
Selain berdampak pada pencemaran air, limbah pakan ikan ini juga berpotensi menjadi pemicu korosi turbin. Sebab, air waduk tersebut sudah tercampur dengan berbagai zat. Salah satunya, zat asam sulfat. Zat tersebut, semakin lama akan mempercepat korosi pada dinding dan logam turbin.
Satu-satunya solusi guna meminimalisasi pencemaran, dengan mengurangi jumlah kolam jaring apung. Namun, untuk mengurangi jumlah kolam perlu kesadaran kolektif. Terutama, kesadaran dari para pembudidaya itu sendiri.